Cari Blog Ini

Rabu, 06 Oktober 2010

SEJARAH INDONESIA KLASIK

Kerajaan Majapahit

Dalam sejarah Indonesia Kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang besar yang disegani oleh banyak bangsa asing. Namun sejarah Majapahit pada hakikatnya menerima banyak unsur politis, kebudayaan, sosial, ekonomi dari Kerajaan Singasari sehingga pembahasan Kerajaan Majapahit tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Singasari.
a. Sumbcr Sejarah
Sumber informasi mengenai berdiri dan berkembangnya Kerajaan Majapahit berasal dari beberapa sumber, yakni:
Prasasti Butak (1294 M) Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia naik tahta. Prasasti ini memuat peristiwa-peristiwa keruntuhan Kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan.
Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama Kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari Kediri dan tahun-tahun awal perkembangan Majapahit.
Kitab Pararaton Kitab ini menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari dan Majapahit.
Kitab Negarakertagama Kitab ini menceritakan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke Jawa Timur.
b. Kehidupan Politik
Sebagaimana telah diuraikan bahwa Raja Kertanegara wafat pada tahun 1292 M, ketika itu pusat Kerajaan Singasari diserbu secara mendadak oleh Jayakatwang (keturunan Raja Kediri). Dalam serangan itu Raden Wijaya (menantu Kertanegara) berhasil meloloskan diri dan lari ke Madura untuk meminta perlindungan dari Bupati Arya Wiraraja. Atas bantuan dari Arya Wiraraja itu, Raden Wijaya diterima dan diampuni oleh Jayakatwang dan diberikan sebidang tanah di Tarik. Daerah itu kemudian dibangun kembali menjadi sebuah perkampungan dan digunakan oleh Raden Wijaya untuk mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk sewaktu-waktu mengadakan serangan balasan terhadap Kediri.
Kedatangan pasukan China-Mongol yang ingin menaklukkan Kertanegara, tidak disia-siakan oleh Raden Wijaya untuk menyerang Raja Jayakatwang (Raja Kediri). Raden Wijaya berhasil menipu pasukan-pasukan China, sehingga mereka rela bergabung dengan Raden Wijaya dan menyerang Raja Jayakatwang hingga akhimya Kerajaan Kediri dapat dihancurkan.
Kemenangan itu membuat tentara China Mongol bergembira. Saat tentara China Mongol merayakan pesta kemenangan, Raden Wijaya menyerang mereka. Serangan yang tiba-tiba dan tak diduga yang dilakukan oleh pasukan Raden Wijaya, membuat tentara China Mongol kalang kabut. Banyak yang terbunuh, sedangkan yang selamat melarikan diri.
Dengan lenyapnya pasukan China-Mongol, pada tahun 1292 M Kerajaan Majapahit sudah dianggap berdiri. Walaupun demikian secara resmi sistem pemerintahan Kerajaan Majapahit baru berjalan setahun kemudian, ketika Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Raden Wijaya Raden Wijaya memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1293-1309 M. Raden Wijaya sempat memperistri keempat putri Kertanegara, yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri. Pada awal pemerintahannya terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh teman-teman seperjuangan Raden Wijaya seperti Sora, Ranggalawe, dan Nambi. Pemberontakan-pemberontakan itu terjadi karena rasa tidak puas atas jabatan-jabatan yang diberikan oleh raja. Akan tetapi, pemberontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 M dan didharmakan pada dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Buddha) di Antapura dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Candi Simping (dekat Blitar).
Raja Jayanegara Raden Wijaya wafat meninggalkan seorang putra yang bernama Kala Gemet. Putra ini diangkat menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanegara (Raja Jayanegara) pada tahun 1309 M.
Jayanegara memerintah Majapahit dari tahun 1309-1328 M. Masa pemerintahan Jayanegara penuh dengan pemberontakan dan juga dikenal sebagai suatu masa yang suram dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Pemberontakan-pemberontakan itu datang dari Juru Demung (1313 M), Gajah Biru (1314 M), Nambi (1316 M), dan Kuti (1319 M).
Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya dan hampir meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Raja Jayanegara terpaksa mengungsi ke Desa Bedander yang diikuti oleh sejumlah pasukan Bhayangkara (pengawal pribadi raja) di bawah pimpinan Gajah Mada. Setelah beberapa hari menetap di Desa Bedander (tempat ini belum dapat ditentukan di mana letaknya) maka Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk meninjau suasana.
Setelah diketahui keadaan rakyat dan para bangsawan istana tidak setuju dan bahkan sangat benci kepada Kuti, Gajah Mada akhirnya merencanakan suatu siasat untuk melakukan serangan terhadap Kuti. Berkat ketangkasan dan siasat jitu dari Gajah Mada, Kuti dan kawannya dapat dilenyapkan.
Raja Jayanegara dapat kembali lagi ke istana dan menduduki tahta Kerajaan Majapahit. Sebagai penghargaan atas jasa Gajah Mada, maka ia langsung diangkat menjadi patih di Kahuripan (1319-1321 M), tidak lama kemudian diangkat menjadi patih di Kediri (1322-1330 M).
Raja Tribhuwanatunggadewi. Ketika raja Jayanegara meninggal dengan tidak meninggalkan seorang putra mahkota maka tahta Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan Gayatri, putri Raja Kertanegara yang masih hidup. Namun, karena ia sudah menjadi seorang pertapa, tahta kerajaan diserahkan kepada putrinya yang bernama Tribhuwanatunggadewi.
Tribhuwanatunggadewi memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1328-1350 M. pada masa pemerintahannya, meletus pemberontakan Sadeng (1331 M). Pimpinan pemberontakan tidak diketahui. Nama Sadeng sendiri adalah nama daerah yang terletak di Jawa Timur. Pemberontakan Sadeng dapat dipadamkan oleh Gajah Mada dan Adityawarman.
Karena jasa dan kecakapannya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit menggantikan Arya Tadah. Saat upacara pelantikan, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil disatukan di bawah panji Kerajaan Majapahit. Sejak saat itu, Gajah Mada menjadi pejabat pemerintahan tertinggi sesudah raja. la mempunyai wewenang untuk menetapkan politik pemerintahan Majapahit.
Raja Hayam Wuruk Raja Hayam Wuruk yang terlahir dari pernikahan Tribhuwanatunggadewi dengan Cakradara (Kertawardhana) adalah seorang raja yang mempunyai pandangan luas. Kebijakan politiknya banyak memiliki kesamaan dengan politik Gajah Mada, yaitu mencita-citakan persatuan Nusantara di bawah panji Kerajaan Majapahit.
Hayam Wuruk memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1350-1389 M. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada tetap merupakan salah satu tiang utama Kerajaan Majapahit dalam mencapai kejayaan-nya. Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya.
Selama hidupnya, Patih Gajah Mada menjalankan politik persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M. Peristiwa itu berawal dari usaha Raja Hayam Wuruk untuk meminang putri dari Pajajaran, Dyah Pitaloka. Lamaran itu diterima oleh Sri Baduga. Raja Sri Baduga beserta putri dan pengikutnya pergi ke Majapahit, dan beristirahat di Lapangan Bubat dekat pintu gerbang Majapahit.
Selanjutnya, timbul perselisihan paham antara Gajah Mada dan pimpinan laskar Pajajaran. Gajah Mada ingin menggunakan kesempatan ini agar Pajajaran mau mengakui kedaulatan Majapahit, yakni dengan menjadikan putri Dyah Pitaloka sebagai selir Raja Hayam Wuruk dan bukan sebagai permaisuri. Hal ini tidak dapat diterima oleh Pajajaran karena dianggap merendahkan derajat. Akhirnya, pecah pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya Sri Baduga dengan putrinya dan seluruh pengikutnya di Lapangan Bubat.
Akibat peristiwa itu politik Gajah Mada menemui kegagalan, karena dengan adanya Peristiwa Bubat belum berarti Pajajaran sudah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Bahkan, Kerajaan Pajajaran terus berkembang secara terpisah dari Majapahit.
Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M, Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan untuk memerintah kerajaan. Setelah Gajah Mada wafat. Raja Hayam Wuruk mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Patih Gajah Mada. Namun, tidak ada satu orang pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Kemudian diangkatlah empat orang menteri di bawah pimpinan Punala Tanding. Hal itu tidak berlangsung lama. Keempat orang menteri tersebut digantikan oleh dua orang menteri, yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya, Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Keadaan Kerajaan Majapahit bertambah suram dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan pembantu-pambantu yang cakap. Kemun-duran Kerajaan Majapahit semakin jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhiriah masa kejayaan Majapahit.
Wikrama Wardhana Raja Hayam Wuruk digantikan oleh putrinya yang ber-nama Kusuma Wardhani. Putri ini menikah dengan Wikrama Wardhana (kemenakan Hayam Wuruk). Wikrama Wardhana memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1389-1429 M. Tetapi Hayam Wuruk juga mempunyai seorang putra (yang lahir dari selir) bemama Wirabhumi. Wirabhumi diberi kekuasaan di ujung timur Pulau Jawa, yaitu di daerah Blambangan sekarang.
Pada mulanya antara Wikrama Wardhana dan Wirabhumi terjalin suatu hubungan yang baik. Tetapi pada tahun 1400 M, Kusumawardhani wafat, sementara Wikrama Wardhana mempunyai maksud untuk menjadi bhiksu. Hal ini menyebabkan kekosongan dalam pemerintahan Majapahit. Wirabhumi memanfaatkan kesempatan mi untuk merebut kekuasaan di Majapahit, sehingga menimbulkan Perang Paregreg antara tahun 1401-1406 M. Dalam perang ini Wirabhumi dapat dibunuh. Meskipun Perang Paregreg telah berakhir, keadaan Kerajaan Majapahit makin lemah. Satu persatu daerah kekuasaan Majapahit melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat. Seiring dengan itu, muncul kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir.
Suatu tradisi lisan yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur akibat serangan dari pasukan-pasukan Islam di bawah pimpinan Raden Patah (Demak). Pada waktu itu disebutkan bahwa raja yang memerintah di Majapahit adalah Brawijaya V. Brawijaya V merupakan raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, karena setelah wafatnya, Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan (sekitar awal abad ke-16 M).
c. Kemunduran Kerajaan Majapahit
Meletusnya Perang Paregreg disebabkan Wirabhumi tidak puas dengan pengangkatan Suhita menjadi raja menggantikan Wikrama Wardhana. Dalam Perang Paregreg itu, Wirabhumi berhasil dikalahkan (peristiwa ini menjadi dasar dari cerita Damarwulan - Minakdjinggo).
Setelah pemerintahan Suhita, terdapat beberapa raja dari Kerajaan Majapahit yang tidak begitu besar kekuasaannya, seperti: Raja Kertawijaya (1447-1451 M), Raja Rajasa Wardhana (1451-1453 M), Raja Purwawisesa (1456-1466 M), Raja Simba Wikramawardhana (1466-1478).

Kerajaan Singhasari

Sejarah Kerajaan Singasari berawal dari Kerajaan Tumapel, yang dikuasai oleh seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di wilayah Malang dengan pelabuhannya bernama Pasuruan. Dari daerah inilah Kerajaan Singasari berkembang dan bahkan menjadi sebuah kerajaan besar di Jawa Timur, terutama setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Kediri dalam pertempuran di dekat Ganter tahun 1222 M.
a. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Singasari berasal dari:
• Kitab Pararaton, menceritakan tentang raja-raja Singasari.
• Kitab Negarakertagama, berisi silsilah raja-raja Majapahit yang memiliki hubungan erat dengan raja-raja Singasari.
• Prasasti-prasasti sesudah tahun 1248 M.
b. Kehidupan Politik
Kerajaan Singasari yang pemah mengalami kejayaan dalam perkem-bangan sejarah Hindu di Indonesia pernah diperintah oleh raja-raja sebagai berikut.
Raja Ken Arok Setelah kemenangannya dalam pertempuran melawan Kerajaan Kediri, Ken Arok memutuskan untuk membuat dinasti Bhattara serta membangun kerajaan baru dengan nama Kerajaan Singasari.
Ken Arok sebagai raja pertama Kerajaan Singasari bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi dan dinastinya bernama Dinasti Girindrawangsa (Dinasti Keturunan Siwa). Pendirian dinasti ini bertujuan menghilangkan jejak tentang siapa sebenarnya Ken Arok dan mengapa ia berhasil mendirikan kerajaan. Di samping itu, agar keturunan-keturunan Ken Arok (bila suatu saat menjadi raja besar) tidak ternoda oleh perilaku dan tindakan kejahatan yang pemah dilakukan oleh Ken Arok. Raja Ken Arok memerintah pada tahun 1222-1227 M. Masa pemerintahan Ken Arok diakhiri secara tragis, saat ia dibunuh oleh kaki tangan Anusapati, yang merupakan anak tirinya (anak Ken Dedes dengan suami pertamanya Tunggul Ametung).
Raja Anusapati Dengan meninggalnya Ken Arok, tahta Kerajaan Singasari langsung dipegang oleh Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahan yang cukup lama itu (1227-1248 M), Anusapati tidak melakukan pembaruan-pembaruan, karena Anusapati larut dengan kegemarannya sendiri, yaitu menyabung ayam.
Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai kepada putra Ken Arok dengan Ken Umang yang bernama Tohjaya. Tohjaya mengetahui bahwa Anusapati suka menyabung ayam, karena itu Anusapati diundang untuk menyabung ayam di Gedong Jiwa (tempat kediaman Tohjaya). Saat Anusapati sedang asyik melihat aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjaya mencabut keris Empu Gandring yang dibawa Anusapati dan langsung menusukkan ke punggung Anusapati hingga ia meninggal.
Raja Tohjaya Dengan meninggalnya Anusapati, tahta kerajaan dipegang oleh Tohjaya. Tohjaya memerintah Kerajaan Singasari hanya beberapa bulan saja (1248 M), karena putra Anusapati yang bernama Ranggawuni mengetahui perihal kematian Anusapati. Ranggawuni yang dibantu oleh Mahesa Cempaka menuntut hak atas tahta kerajaan kepada Tohjaya. Tetapi Tohjaya mengirim pasukannya untuk menangkap Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Rencana Tohjaya telah diketahui oleh Ranggawuni dan Mahesa Cempaka, sehingga keduanya melarikan diri sebelum pasukan Tohjaya menangkap mereka.
Untuk menyelidiki persembunyian Ranggawuni dan Mahesa Cempaka, Tohjaya mengirim pasukan di bawah pimpinan Lembu Ampal. Namun, Lembu Ampal akhirnya menyadari bahwa yang berhak atas tahta kerajaan ternyata Ranggawuni, maka ia berbalik memihak Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Ranggawuni yang dibantu Mahesa Cempaka dan Lembu Ampal berhasil merebut tahta kerajaan dari tangan Tohjaya. Selanjutnya Ranggawuni menduduki tahta Kerajaan Singasari.
Raja Wisnuwardhana Ranggawuni naik tahta atas Kerajaan Singasari dengan gelar Sri JayaWisnuwardhana dibantu oleh Mahesa Cempaka dengan gelar Narasinghamurti. Mereka memerintah bersama Kerajaan Singasari (1248-1268 M). Wisnuwardhana sebagai raja, Narasinghamurti sebagai Ratu Angabhaya. Pemerintahan kedua penguasa tersebut membawa keamanan dan kesejahteraan. Pada tahun 1254 M, Wisnuwardhana mengangkat putranya sebagai Yuvaraja (raja muda) dengan maksud untuk mempersiapkan putranya yang bernama Kertanegara menjadi seorang raja besar di Kerajaan Singasari. Setelah Wisnuwardhana meninggal dunia (dialah satu-satunya raja yang meninggal tidak terbunuh di Kerajaan Singasari), tahta Kerajaan Singasari beralih kepada Kertanegara.
Raja Kertanegara Raja Kertanegara (1268-1292 M) merupakan raja terkemuka dan raja terakhir dari Kerajaan Singasari. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Singasari mencapai masa kejayaannya. Stabilitas kerajaan yang diwujudkan pada masa pemerintahan Raja Wisnuwardhana disempurnakan lagi dengan tindakan-tindakan yang tegas dan berani. Setelah keadaaan Jawa Timur dianggap baik, Raja Kertanegara melangkah ke luar Jawa Timur untuk mewujudkan cita-cita persatuan seluruh Nusantara di bawah panji Kerajaan Singasari.
Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam dan luar negeri.
Dalam rangka mewujudkan Stabilitas politik Kerajaan Singasari, Raja Kertanegara menempuh jalan sebagai berikut.
•Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani. Raganata diangkat menjadi Adhiyaksa di Tumapel. Juga banyak Wide yang berasal dari rakyat biasa diangkat menjadi pegawai tinggi dengan gelar Aryawiraraja dan diangkat menjadi bupati Sumenep (Madura).
•Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya, yaitu dengan mengangkat putra Jayakatwang raja Kadiri yang bernama Ardharaja diambil jadi manantu. Serta Raden Wijaya selaku cucu Mahesa Campaka dijadikan menantu pula.
•Memperkuat angkatan perang untuk menciptkan keamanan dan ketertiban didalam negeri dan mewujudkan persatuan nusantara

Kerajaan Singhasari

Sejarah Kerajaan Singasari berawal dari Kerajaan Tumapel, yang dikuasai oleh seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di wilayah Malang dengan pelabuhannya bernama Pasuruan. Dari daerah inilah Kerajaan Singasari berkembang dan bahkan menjadi sebuah kerajaan besar di Jawa Timur, terutama setelah berhasil mengalahkan Kerajaan Kediri dalam pertempuran di dekat Ganter tahun 1222 M.
a. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Singasari berasal dari:
• Kitab Pararaton, menceritakan tentang raja-raja Singasari.
• Kitab Negarakertagama, berisi silsilah raja-raja Majapahit yang memiliki hubungan erat dengan raja-raja Singasari.
• Prasasti-prasasti sesudah tahun 1248 M.
b. Kehidupan Politik
Kerajaan Singasari yang pemah mengalami kejayaan dalam perkem-bangan sejarah Hindu di Indonesia pernah diperintah oleh raja-raja sebagai berikut.
Raja Ken Arok Setelah kemenangannya dalam pertempuran melawan Kerajaan Kediri, Ken Arok memutuskan untuk membuat dinasti Bhattara serta membangun kerajaan baru dengan nama Kerajaan Singasari.
Ken Arok sebagai raja pertama Kerajaan Singasari bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi dan dinastinya bernama Dinasti Girindrawangsa (Dinasti Keturunan Siwa). Pendirian dinasti ini bertujuan menghilangkan jejak tentang siapa sebenarnya Ken Arok dan mengapa ia berhasil mendirikan kerajaan. Di samping itu, agar keturunan-keturunan Ken Arok (bila suatu saat menjadi raja besar) tidak ternoda oleh perilaku dan tindakan kejahatan yang pemah dilakukan oleh Ken Arok. Raja Ken Arok memerintah pada tahun 1222-1227 M. Masa pemerintahan Ken Arok diakhiri secara tragis, saat ia dibunuh oleh kaki tangan Anusapati, yang merupakan anak tirinya (anak Ken Dedes dengan suami pertamanya Tunggul Ametung).
Raja Anusapati Dengan meninggalnya Ken Arok, tahta Kerajaan Singasari langsung dipegang oleh Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahan yang cukup lama itu (1227-1248 M), Anusapati tidak melakukan pembaruan-pembaruan, karena Anusapati larut dengan kegemarannya sendiri, yaitu menyabung ayam.
Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai kepada putra Ken Arok dengan Ken Umang yang bernama Tohjaya. Tohjaya mengetahui bahwa Anusapati suka menyabung ayam, karena itu Anusapati diundang untuk menyabung ayam di Gedong Jiwa (tempat kediaman Tohjaya). Saat Anusapati sedang asyik melihat aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjaya mencabut keris Empu Gandring yang dibawa Anusapati dan langsung menusukkan ke punggung Anusapati hingga ia meninggal.
Raja Tohjaya Dengan meninggalnya Anusapati, tahta kerajaan dipegang oleh Tohjaya. Tohjaya memerintah Kerajaan Singasari hanya beberapa bulan saja (1248 M), karena putra Anusapati yang bernama Ranggawuni mengetahui perihal kematian Anusapati. Ranggawuni yang dibantu oleh Mahesa Cempaka menuntut hak atas tahta kerajaan kepada Tohjaya. Tetapi Tohjaya mengirim pasukannya untuk menangkap Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Rencana Tohjaya telah diketahui oleh Ranggawuni dan Mahesa Cempaka, sehingga keduanya melarikan diri sebelum pasukan Tohjaya menangkap mereka.
Untuk menyelidiki persembunyian Ranggawuni dan Mahesa Cempaka, Tohjaya mengirim pasukan di bawah pimpinan Lembu Ampal. Namun, Lembu Ampal akhirnya menyadari bahwa yang berhak atas tahta kerajaan ternyata Ranggawuni, maka ia berbalik memihak Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Ranggawuni yang dibantu Mahesa Cempaka dan Lembu Ampal berhasil merebut tahta kerajaan dari tangan Tohjaya. Selanjutnya Ranggawuni menduduki tahta Kerajaan Singasari.
Raja Wisnuwardhana Ranggawuni naik tahta atas Kerajaan Singasari dengan gelar Sri JayaWisnuwardhana dibantu oleh Mahesa Cempaka dengan gelar Narasinghamurti. Mereka memerintah bersama Kerajaan Singasari (1248-1268 M). Wisnuwardhana sebagai raja, Narasinghamurti sebagai Ratu Angabhaya. Pemerintahan kedua penguasa tersebut membawa keamanan dan kesejahteraan. Pada tahun 1254 M, Wisnuwardhana mengangkat putranya sebagai Yuvaraja (raja muda) dengan maksud untuk mempersiapkan putranya yang bernama Kertanegara menjadi seorang raja besar di Kerajaan Singasari. Setelah Wisnuwardhana meninggal dunia (dialah satu-satunya raja yang meninggal tidak terbunuh di Kerajaan Singasari), tahta Kerajaan Singasari beralih kepada Kertanegara.
Raja Kertanegara Raja Kertanegara (1268-1292 M) merupakan raja terkemuka dan raja terakhir dari Kerajaan Singasari. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Singasari mencapai masa kejayaannya. Stabilitas kerajaan yang diwujudkan pada masa pemerintahan Raja Wisnuwardhana disempurnakan lagi dengan tindakan-tindakan yang tegas dan berani. Setelah keadaaan Jawa Timur dianggap baik, Raja Kertanegara melangkah ke luar Jawa Timur untuk mewujudkan cita-cita persatuan seluruh Nusantara di bawah panji Kerajaan Singasari.
Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam dan luar negeri.
Dalam rangka mewujudkan Stabilitas politik Kerajaan Singasari, Raja Kertanegara menempuh jalan sebagai berikut.
•Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani. Raganata diangkat menjadi Adhiyaksa di Tumapel. Juga banyak Wide yang berasal dari rakyat biasa diangkat menjadi pegawai tinggi dengan gelar Aryawiraraja dan diangkat menjadi bupati Sumenep (Madura).
•Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya, yaitu dengan mengangkat putra Jayakatwang raja Kadiri yang bernama Ardharaja diambil jadi manantu. Serta Raden Wijaya selaku cucu Mahesa Campaka dijadikan menantu pula.
•Memperkuat angkatan perang untuk menciptkan keamanan dan ketertiban didalam negeri dan mewujudkan persatuan nusantara

Kerajaan Kadiri

Pada akhir pemerintahan Raja Airlangga, wilayah kekuasaannya dibagi dua, untuk menghindari terjadinya perang saudara. Maka muncullah Kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibukota Daha (Dahanapura), diperintah oleh Jayawarsa dan Kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, yang diperintah oleh Jayengrana. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya Kerajaan Kediri mencapai kemajuan lebih pesat dari Kerajaan Jenggala.
Pada awalnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri meliputi Madiun dan daerah bagian barat Kerajaan Medang Kamulan. Ibukota Kerajaan Kediri, yaitu Daha terletak di tepi Sungai Brantas. Melalui pelabuhan Canggu, aktivitas perekonomian rakyat sangat lancar sehingga mendatangkan kemakmuran. Wilayah pengaruh Kerajaan Kediri kemudian berkembang mencakup wilayah Indonesia Timur. Wilayah pemerintahan ini sama seperti pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa.
a. Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Kediri berasal dari beberapa prasasti dan berita asing sebagai berikut.
Prasasti
• Prasasti Sirah Keting (1104 M), yang memuat tentang pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh Raja Jayawarsa. .
• Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan, diperkirakan berasal dari Raja Bameswara (1117-1130 M).
• Prasasti Ngantang (1135 M), yang menyebutkan tentang Raja Jayabaya yang memberikan hadiah kepada rakyat Desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak.
• Prasasti Jaring (1181 M) dari Raja Gandra yang memuat tentang sejumlah nama-nama hewan seperti Kebo Waruga dan Tikus finada.
• Prasasti Kamulan (1194 M), yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Kertajaya, Kerajaan Kediri telah berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana di Katang-katang.
Berita Asing
Berita asing tentang Kerajaan Kediri sebagian besar diperoleh dari berita Cina. Berita Cina ini merupakan kumpulan cerita dari para pedagang Cina yang melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan Kediri. Seperti Kronik Cina bernama Chu fan Chi karangan Chu ju kua (1220 M). Buku ini banyak mengambil cerita dari buku Ling wai tai ta (1778 M) karangan Chu ik fei. Kedua buku ini menerangkan keadaan Kerajaan Kediri pada abad ke-12 dan ke-13M.
b. Kehidupan Politik
Masa kejayaan Kediri dapat dikatakan jelas, terbukti dengan ditemukan-nya silsilah raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Kediri. Di samping itu, ditemukan prasasti-prasasti dari raja-raja yang pernah memerintah. Raja-raja tersebut di antaranya sebagai berikut.
Raja Jayawarsa. Masa pemerintahan Jayawarsa (1104 M) hanya dapat diketahui melalui Prasasti Sirah Keting. Pada masa pemerintahannya, Raja Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda peng-hargaan, karena rakyat desa telah berjasa kepada raja. Dari prasasti itu diketahui Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya kepada rakyatnya dan berupaya meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya.
Raja Bameswara Pada masa pemerintahannya. Raja Bameswara (1117-1130 M) banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulungagung dan Kertosono. Prasasti-prasasti itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya.
Raja Jayabaya Raja Jayabaya (1135-1157 M) merupakan raja terkemuka dari Kerajaan Kediri, karena di bawah pemerintahannya Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaannya.
Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya terjadi perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Kediri. Hal ini dibuktikan dengan Prasasti Ngantang yang berisi tulisan Pangjalu Jayati (berarti Kediri Menang). Kemenangan Kerajaan Kediri dalam perluasan wilayah mengilhami pujangga Empu Sedah dan Empu Panuluh untuk menulis kitab Bharatayuda. Perang Bharatayuda merupakan perang saudara antara Pandawa dan Kurawa. Perang tersebut menjadi inspirasi isi kitab Bharatayuda yang menceritakan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Jayabaya, Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala berhasil dipersatukan lagi.
Di samping sebagai raja besar. Raja Jayabaya juga terkenal sebagai ahli nujum atau ahli ramal. Ramalan-ramalannya dikumpulkan dalam sebuah kitab Jongko Joyoboyo. Dalam ramalannya, Raja Jayabaya menyebutkan beberapa hal seperti ratu adil yang akan datang memerintah Indonesia.
Raja Saweswara dan Raja Aryeswara Masa pemerintahan kedua raja ini tidak dapat diketahui, karena tidak ditemukan prasasti-prasasti yang menyinggung masalah pemerintahan dari kedua raja tersebut.
Raja Gandra Masa pemerintahan Raja Gandra (1181 M) dapat diketahui dari Prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti nama gajah, kebo dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
Raja Kameswara Pada masa pemerintahan Raja Kameswara (1182-1185 M), seni sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di antaranya Empu Dharmaja mengarang Smaradhana. Bahkan pada masa pernerintahannya juga dikenal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
Raja Kertaiaya Raja Kertajaya (1190-1222 M) merupakan raja terakhir dari Kerajaan Kediri. Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan Dandang Gendis. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.
Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Mengetahui hal ini. Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu. Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M). Dalam pertempuran itu pasukan dari Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri (namun nasibnya tidak diketahui secara pasti). Kekuasaan Kerajaan Kediri berakhir dan menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel.

Kerajaan Medang Kamulan

Berdasarkan penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas. Ibukotanya bernama Watan Mas. Kerajaan itu didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu Sindok mencakup Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di sebelah timur, Surabaya di sebelah utara, dan Malang di sebelah selatan. Dalam perkembang-an selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan mencakup hampir seluruh wilayah Jawa Timur.
a. Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Medang Kamulan berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
3 Berita Asing
Berita asing tentang keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur dapat diketahui melalui berita dari India dan Cina. Berita dari India mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Chola untuk membendung dan menghalangi kemajuan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa.
Berita Cina berasal dari catatan-catatan yang ditulis pada zaman Dinasti Sung. Catatan-catatan Kerajaan Sung itu menyatakan bahwa antara kerajaan yang berada di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan, sehingga ketika Duta Sriwijaya pulang dari Cina (tahun 990 M), terpaksa harus tinggal dulu di Campa sampai peperangan itu reda. Pada tahun 992 M, pasukan dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan Kerajaan Medang Kamulan dapat memajukan pelayaran dan perdagangan. Di samping itu, tahun 992 M tercatat pada catatan-catatan negeri Cina tentang datangnya duta persahabatan dari Jawa.
Berita Prasasti
Beberapa prasasti yang mengungkapkan Kerajaan Medang Kamulan antara lain:
• Prasasti dari Mpu Sindok, dari Desa Tangeran (daerah Jombang) tahun 933 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah bersama permaisurinya Sri Wardhani Pu Kbin.
• Prasasti Mpu Sindok dari daerah Bangil menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan satu candi sebagai tempat pendharmaan ayahnya dari permaisurinya yang bernama Rakryan Bawang.
• Prasasti Mpu Sindok dari Lor (dekat Nganjuk) tahun 939 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan candi yang bernama Jayamrata dan Jayastambho (tugu kemenangan) di Desa Anyok Lodang.
• Prasasti Calcuta, prasasti dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah keturunan dari Raja Mpu Sindok.
b. Kehidupan Politik
Sejak berdiri dan berkembangnya Kerajaan Medang Kamulan, terdapat beberapa raja yang diketahui memerintah kerajaan ini. Raja-raja tersebut adalah sebagai berikut.
Raja Mpu Sindok Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kamulan dengan gelar Mpu Sindok Sri Isyanatunggadewa. Dari gelar Mpu Sindok itulah diambil nama Dinasti Isyana.
Raja Mpu Sindok termasuk keturunan Raja Dinasti Sanjaya (Mataram) di Jawa Tengah. Oleh karena kondisi Jawa Tengah tidak memungkinkan bertahtanya Dinasti Sanjaya akibat desakan Kerajaan Sriwijaya, maka Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Bahkan dalam prasasti terakhir, Mpu Sindok adalah peletak dasar Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur. Namun, setelah Mpu Sindok turun tahta, keadaan Jawa Timur dapat dikatakan suram, karena tidak adanya prasasti-prasasti yang menceritakan kondisi Jawa Timur. Baru setelah Airlangga naik tahta muncul prasasti-prasasti yang dijadikan sumber untuk mengetahui keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur.
Dharmawangsa Raja Dharmawangsa dikenal sebagai salah seorang raja yang memiliki pandangan politik yang tajam. Kebesaran Dharmawangsa tampak jelas pada politik luar negerinya. Raja Dharmawangsa percaya bahwa kedudukan ekonomi Kerajaan Sriwijaya yang kuat merupakan ancaman bagi perkembangan Kerajaan Medang Kamulan. Oleh karena itu. Raja Dharmawangsa mengerahkan seluruh angkatan lautnya untuk menduduki dan menguasai Kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi, selang beberapa tahun kemudian, Sriwijaya bangkit dan mengadakan pembalasan terhadap Kerajaan Medang Kamulan yang masih diperintah oleh Dharmawangsa.
Dalam usaha menundukkan Kerajaan Medang Kamulan, Kerajaan Sriwijaya mengadakan hubungan dengan kerajaan kecil yang ada di Jawa, yaitu dengan Kerajaan Wurawari. Serangan dari Kerajaan Wurawari itulah yang mengakibatkan hancurnya Kerajaan Medang Kamulan (1016 M). Serangan itu terjadi ketika Raja Dharmawangsa melaksanakan upacara pernikahan putrinya dengan Airlangga (dari Bali). Dalam serangan itu. Raja Dharmawangsa beserta kerabat istana tewas. Namun Airlangga dapat melarikan diri bersama pengikutnya yang setia, yaitu Narottama.
Airlangga Dalam prasasti Calcuta disebutkan bahwa Raja Airlangga masih termasuk keturunan Raja Mpu Sindok dari pihak ibunya yang bernama Mahendradata (Gunapria Dharmapatni) yang menikah dengan Raja Udayana.
Ketika Airlangga berusia 16 tahun ia dinikahkan dengan putri Dharmawangsa. Pada saat upacara pernikahan itulah terjadi serangan dari Kerajaan Wurawari, yang mengakibatkan hancurnya Kerajaan Medang Kamulan. Seperti sudah disebut, Airlangga berhasil melarikan diri bersama pengikutnya yang setia, yaitu Narottama ke dalam hutan. Di tengah hutan Airlangga hidup seperti seorang pertapa dengan menanggalkan pakaian kebesarannya.
Selama tiga tahun (1016-1019 M), Airlangga digembleng baik lahir maupun batin di hutan Wonogiri. Kemudian, atas tuntutan dari rakyatnya, pada tahun 1019 M Airlangga bersedia dinobatkan menjadi raja untuk meneruskan tradisi Dinasti Isyana, dengan gelar Rakai Halu Sri Lakeswara Dharmawangsa Airlangga Teguh Ananta Wirakramatunggadewa.
Antara tahun 1019-1028 M, Airlangga berusaha mempersiapkan diri agar dapat menghadapi lawan-lawan kerajaannya. Dengan persiapan yang cukup, antara tahun 1028-1035 M, Airlangga berjuang untuk mengembalikan kewibawaan kerajaan. Airlangga menghadapi lawan-lawan yang cukup kuat seperti Kerajaan Wurawari, Kerajaan Wengker, dan Raja Futri dari selatan yang bernama Rangda Indirah. Peperangan menghadapi Rangda Indirah ini diceritakan melalui cerita yang berjudul Calon Arang.
Setelah Airlangga berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, ia mulai membangun kerajaan di segala bidang kehidupan untuk kemakmuran rakyatnya. Dalam waktu singkat Kerajaan Medang Kamulan berhasil meningkatkan kesejahteraannya, keadaan masyarakatnya stabil. Setelah tercapai kestabilan dan kesejahteraan kerajaan, pada tahun 1042 M Raja Airlangga memasuki masa kependetaan. Tahta kerajaan diserahkan kepada seorang putrinya yang terlahir dari permaisuri, tetapi putrinya telah memilih menjadi seorang pertapa dengan gelar Ratu Giri Putri, maka tahta kerajaan diserahkan kepada kedua orang putra yang terlahir dari selir Airlangga. Selanjutnya, Kerajaan Medang Kamulan terbagi dua, untuk menghindari perang saudara, yaitu Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri (Panjalu).

Kerajaan Mataram Kuno

a. Lokasi Kerajaan
Kerajaan Mataram terletak di Jawa Tengah dengan daerah pusatnya disebut Bhumi Mataram. Daerah tersebut dikelilingi oleh pegunungan dan gunung-gunung, seperti Pegunungan Serayu, Gunung Prau, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Ungaran, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Pegunungan Kendang, Gunung Lawu, Gunung Sewu, Gunung Kidul. Daerah itu juga dialiri banyak sungai, di antaranya Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan yang terbesar adalah Sungai Bengawan Solo.
Wilayah tersebut merupakan daerah tertutup, namun subur. Kesuburan tanah itu memudahkan pertambahan peduduk, sehingga peranan dan kekuatan masyarakat di daerah itu cukup besar dan merupakan kekuatan utama bagi negara.
Sebelah selatan Bhumi Mataram adalah Lautan Indonesia, tetapi laut itu sulit untuk dilayari. Sedangkan pelayaran dan perdagangan lebih banyak dilakukan melalui pantai utara Pulau Jawa, yang agak jauh dari Bhumi Mataram. Oleh karena itu, mata pencaharian utama dari rakyatnya adalah pertanian, sementara bidang perdagangan kurang mendapat perhatian.

b. Dinasti Sanjaya
1) Sumber Sejarah
Bukti-bukti berdirinya Dinasti Sanjaya dapat diketahui melalui Prasasti Canggal (daerah Kedu) tahun 732 M, Frasasti Balitung, Kitab Carita Parahyangan.
Prasasti Canggal (732 M) Prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Sanjaya yang berhubungan dengan pendirian lingga yang merupakan perwujudan Dewa Siwa. Hal ini menunjukkan bahwa agama yang dianutnya adalah agama Hindu.
Prasasti Balitung (907 M) Prasasti ini adalah prasasti tembaga yang dikeluarkan oleh Raja Diah Balitung. Diah Balitung mengeluarkan prasasti ini sehubungan dengan pemberian hadiah tanah kepada lima orang patihnya di Mantyasih, karena kelima patihnya itu telah berjasa besar terhadap kerajaan. Dalam prasasti itu disebutkan nama raja yang pernah memerintah pada Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya.
Kitab Carita Parahyangan Kitab ini menceritakan tentang hal ikhwal raja-raja Sanjaya.
2) Kehidupan Politik
Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja keturunan dari Dinasti Sanjaya. Raja-raja yang pernah berjasa di Kerajaan Mataram di antaranya:
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya Menurut Prasasti Canggal (732 M), Raja Sanjaya adalah pendiri Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Raja Sanjaya memerintah dengan sangat adil dan bijaksana sehingga. rakyatnya terjamin aman dan tentram;
Di dalam masalah keagamaan. Raja Sanjaya mendatangkan pendeta-pendeta Hindu beraliran Siwa. Dari para pendeta itu, raja dapat mernper-dalam agama Hindu Siwa. Pemujaan yang tertinggi di Kerajaan Mataram diberikan kepada Dewa Siwa yang dianggap sebagai dewa tertinggi. Untuk memuja dewa itu, didirikan candi-candi.
Raja Sanjaya meninggal kira-kira pertengahan abad ke-8 M. la digantikan oleh Rakai Panangkaran. Berturut-turut pengganti Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak dan Rakai Garung. Ketiga raja ini tidak begitu jelas diketahui bentuk-bentuk pemerintahannya, karena kurangnya bukti-bukti yang menginformasikan sepak terjang mereka.
Sri Maharaja Rakai Pikatan Setelah Rakai Garung meninggal, Rakai Pikatan naik tahta. Sebagai raja, ia mempunyai cita-cita untuk menguasai seluruh wilayah Jawa Tengah. Untuk melaksanakan cita-citanya itu/ Rakai Pikatan harus berhadapan dengan Kerajaan Syailendra yang pada saat itu diperintah oleh Raja Balaputra Dewa. Perang tidak mungkin dilaksanakan, karena kekuatan Kerajaan Syailendra melebihi kekuatan Kerajaan Mataram. Karena itu, jalan yang ditempuh Rakai Pikatan adalah meminang putri dari Kerajaan Syailendra yang bernama Pramodhawardani. Seharusnya Pramodhawardani berkuasa atas Kerajaan Syailendra, tetapi ia menyerahkan tahtanya kepada Balaputra Dewa.
Untuk mencapai cita-citanya, Rakai Pikatan mendesak Pramodhawardani agar mau menarik tahtanya kembali dari Balaputra Dewa, sehingga meletus perang saudara. Dalam perang itu. Raja Balaputra Dewa dapat dikalahkan dan lari ke Kerajaan Sriwijaya.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dalam menyatukan pemerintahannya, Rakai Kayuwangi dibantu oleh suatu Dewan Penasehat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima patih dan diketuai oleh seorang mahapatih. Di samping itu, Rakai Kayuwangi berusaha keras untuk memajukan pertanian, karena pertanian akan dapat menunjang aktivitas kehidupan perekonomian rak¬yatnya. Dalam bidang keagamaan, perhatian raja sangat besar. Hal ini dibuktikan dari prasasti yang ditemukan di daerah Dieng dan Plaosan.
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang Masa pemerintahan Rakai Watuhumalang tidak dapat diketahui dengan jelas, karena prasasti-prasasti yang berasal dari masa pemerintahannya tidak ada yang menyebutkan masa peme¬rmtahannya. Prasasti-prasasti terse¬but lebih banyak membicarakan masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Rakai Watuhumalang, masalah keagamaan mendapat perhatian lebih khusus daripada masalah pemerin¬tahan.
Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung Raja Dyah Balitung adalah seorang raja Mataram yang besar dan cakap. la berhasil mengatasi masalah yang dihadapi Kerajaan Mataram
dari masa pemerintahannya tidak ada yang menyebutkan masa peme¬rmtahannya. Prasasti-prasasti terse¬but lebih banyak membicarakan masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Rakai Watuhumalang, masalah keagamaan mendapat perhatian lebih khusus daripada masalah pemerin¬tahan.
Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung Raja Dyah Balitung adalah seorang raja Mataram yang besar dan cakap. la berhasil mengatasi masalah yang dihadapi Kerajaan Mataram dan mempersatukan kembali kerajaan-kerajaan yang hampir terpecah belah akibat pertentangan antarkaum bangsawan. Kesejahteraan rakyat meningkat dan keamanan terjamin, bahkan daerah kekuasaannya meluas hingga ke Jawa Timur.
Diah Balitung memerintah Mataram sampai tahun 910 M. Masa pemerintahannya banyak meninggalkan prasasti. Prasasti terpenting adalah Prasasti Mantyasih (Kedu) yang berisi tentang silsilah raja-raja Mataram dari Raja Sanjaya sampai dengan Raja Diah Balitung.
Pada masa pemerintahannya dikenal adanya tiga jabatan penting, yaitu Rakryan I Hi-no (pejabat tertinggi di bawah raja). Selanjutnya Rakryan I Halu dan Rakryan I Sirikan. Ketiga jabatan ini merupakan tritunggal dan nama jabatan ini terus dipakai oleh kerajaan-kerajaan berikutnya pada zaman Singasari-Majapahit.
Sri Maharaja Daksa Pengganti Diah Balitung adalah Daksa. Sebelum menjadi Raja Mataram ia menjabat sebagai Rakryan I Hino. Pada masa pemerintahan¬nya, pembuatan Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Masa pemerintahan Raja Daksa tidak berlangsung lama dan digantikan oleh Tulodhong. Masa pemerintahan Tulodhong sangat singkat dan tidak terjadi hal-hal yang menonjol atau penting.
Sri Maharaja Rakai Wawa Pengganti Raja Tulodhong adalah Rakai Wawa. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan I Hino. Pada masa pemerintahannya terjadi kekacauan yang menjalar sampai ke ibukota kerajaan. Kekacauan itu dapat diatasi, sehingga keamanan dapat dipulihkan kembali.
Setelah Rakai Wawa meninggal, ia digantikan oleh Mpu Sindok. Narnun, karena rasa khawatir terhadap serangan-serangan yang dilancarkan oleh Sriwijaya, maka Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
c. Dinasti Syailendra
Pada pertengahan abad ke-8 M di Jawa Tengah bagian selatan, yaitu di daerah Bagelan dan Yogyakarta, memerintah seorang raja dari Dinasi Syailendra. Kerajaannya juga dikenal dengan Kerajaan Syailendra. Ber-dasarkan bukti-bukti peninggalan Kerajaan Syailendra yang berupa candi-candi, wilayah kekuasaan Syailendra meliputi wilayah Jawa Tengah bagian selatan, yaitu wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, diketahui bahwa pusat kedudukan Kerajaan Syailendra terletak di daerah pegunungan di sebelah selatan. Hal mi berdasar pada letak peninggalan istana Ratu Boko.
1) Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Syailendra tidak begitu banyak yang berhasil diketahui, baik berupa prasasti maupun peninggalan-peninggalan arkeologi. Prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan di antaranya sebagai berikut.
Prasasti Kalasan (778 M) Prasasti ini menyebutkan tentang seorang raja dari Dinasti Syailendra (Kerajaan Syailendra) yang berhasil menunjuk Rakai Panangkaran untuk mendirikan satu bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah bihara untuk para pendeta. Rakai Panangkaran akhirnya meng-hadiahkan Desa Kalasan kepada Sanggha Buddha.
Prasasti Kelurak (782 M) di daerah Prambanar Prasasti ini menyebutkan pembuatan area Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Buddha, Wisnu, Manjusri dan Sanggha, yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, Siwa. Prasasti ini juga menyebut nama raja yang memerintah saat itu, yang bernama Raja Indra.
Prasasti Ratu Boko (856 M) Prasasti ini menyebutkan kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya Pramodhawardani dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya.
Prasasti Nalanda (860 M) Prasasti ini menyebutkan tentang asal usul Raja Balaputra Dewa. Disebutkan bahwa Balaputra Dewa adalah. putra dari Raja Samarotungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan Syailendra di Jawa Tengah).
2) Kehidupan Politik
Pada akhir abad ke-8 M, Dinasti Sanjaya terdesak oleh dinasti lain, yaitu Dinasti Syailendra. Peristiwa ini terjadi ketika Dinasti Sanjaya diperintah oleh Rakai Panangkaran. Hal itu dibuktikan melalui Prasasti Kalasan (tahun 778 M) yang menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendapat perintah dari Raja Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan (candi Buddha).
Walaupun kedudukan raja-raja dari Dinasti Sanjaya telah terdesak oleh Dinasti Syailendra, namun kedudukan mereka sebagai raja yang terhormat tetap diakui. Hanya saja harus tunduk terhadap raja-raja Syailendra sebagai penguasa tertinggi atas seluruh Mataram.
Berdasarkan prasasti yang telah ditemu¬kan dapat diketahui raja-raja yang pernah memerintah Dinasti Syailendra, di antaranya:
Raja Indra Dinasti Syailendra menjalankan politik ekspansi pada masa pemerintahan Raja Indra. Periuasan wilayah ini ditujukan untuk menguasai daerah-daerah sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh pengaruh kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra menjalankan pernikahan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samarottungga dengan putri Raja Sriwijaya.
Raja Samarottungga Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Fada zaman kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra Dewa yang merupakan anak dari selir. Tetapi sebenamya yang berhak menggantikan adalah putrinya yang lahir dari permaisuri yang bernama Pramodhawardani. Dia menolak, karena tidak mungkin sanggup untuk memerintah. Akhirnya tahta kerajaan diserahkan kepada Balaputra Dewa (adik tirinya).
Setelah Pramodhawardani menikah dengan Rakai Pikatan (yang ingin mempersatukan seluruh kekuasaan di Jawa Tengah di bawah pemerintahan Dinasti Sanjaya) terjadi berbagai perubahan. Rakai Pikatan mendesak Pramodhawardani untuk menarik tahtanya kembali, sehingga terjadilah perang saudara antara Pramodhawardani yang dibantu oleh Rakai Pikatan dengan Balaputra Dewa. Dalam perang saudara itu Balaputra Dewa Kala di Bukit Ratu Boko (Prasasti Ratu Boko tahun 856 M) dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya, serta langsung diangkat menjadi raja di Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya

Dalam sejarah Indonesia ada dua kerajaan kuno yang selalu disebutkan sebagai kerajaan-kerajaan yang megah dan jaya, yang melambangkan kemegahan dan kejayaan Indone¬sia di zaman dulu. Kedua kerajaan itu adalah Sriwijaya dan Majapahit.
Lokasi Kerajaan
a. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bukan saja dikenal di wilayah Indonesia, tetapi dikenal di setiap bangsa atau negara yang berada jauh di luar Indo¬nesia. Hal ini disebabkan letak Kerajaan Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan Selat Malaka. Telah kita ketahui, Selat Malaka pada saat itu merupakan jalur perdagangan yang sangat ramai dan dapat menghubung-kan antara pedagang-pedagang dari Cina dengan India maupun Romawi.
Dari tepian Sungai Must di Sumatra Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya terus meluas yang mencakup Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra. Luasnya wilayah laut yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang besar pada zamannya.
b. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
Berita Asing
Mengingat Kerajaan Sriwijaya me¬rupakan kerajaan maritim dengan letak yang sangat strategis, banyak pedagang-pedagang asing yang datang untuk melakukan aktivitas di Kerajaan Sriwijaya. Untuk itu banyak ditemukan informasi mengenai keberadaan Keraja¬an Sriwijaya ini. Berita asing tersebut antara lain sebagai berikut.
Berita Arab Dari berita Arab dapat di-ketahui bahwa banyak pedagang Arab yang melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya. Bahkan di pusat Kerajaan Sriwijaya ditemukan perkam-pungan-perkampungan orang-orang Arab sebagai tempat tinggal sementara. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya juga diketahui dari sebutan orang-orang Arab terhadap Kerajaan Sriwijaya seperti Zabaq, Sabay, atau Sribusa.
Berita India Dari berita India dapat diketahui bahwa raja dari Kerajaan Sri¬wijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola.
Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan satu prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari pajak. Sebagai gantinya, kelima desa itu wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda.
Di samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai Selat Malaka.
Berita Cina Dari berita Cina, dapat diketahui bahwa pedagang-pedagang Kerajaan Sriwijaya telah menjalin hubungan perdagangan dengan pedagang-pedagang Cina. Para pedagang Cina sering singgah di Kerajaan Sriwijaya untuk selanjutnya meneruskan perjalanannya ke India maupun Romawi.
Berita dalam Negeri
Berita-berita dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti tersebut sebagian besar mengguna-kan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.
Prasasti Kedukan Bukit Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan bahwa Raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukkan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk perdagangan.
Prasasti Telaga Batu Prasasti itu menyebutkan tentang kutukan raja terhadap siapa saja yang tidak taat terhadap Raja Sriwijaya dan juga melakukan tindakan kejahatan.
Prasasti Talang Tuwo Prasasti berangka tahun 684 M. itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perin¬tah Raja Dapunta Hyang.
Prasasti Kota Kapur Prasasti berangka tahun 686 M. itu menyebutkan bahwa
Kerajaan Sriwijaya berusaha untuk menaklukkan Bumi Jawa yang tidak setia kepada Kerajaan Sriwijaya. Prasasti tersebut ditemukan di Pulau Bangka.
Prasasti Karang Berahi Prasasti berangka tahun 686 M. itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukkan penguasaan Kerajaan Sriwijaya atas daerah itu.
Prasasti Ligor Prasasti berangka tahun 775 M. itu menyebutkan tentang ibukota Ligor dengan tujuan untuk mengawasi pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka.
Prasasti Nalanda Prasasti ini menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Dinasti Syailendra. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
c. Kehidupan Politik
Dalam perkembangan sejarah Indonesia, Kerajaan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar yang megah dan jaya di masa lampau. Namun, tidak semua raja yang pernah memerintah meninggalkan prasasti. Raja-raja yang berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut.
Raja Dapunta Hyang Berita mengenai raja ini diketahui melalui Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa pemerintahannya. Raja Dapunta Hyang telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi, yaitu dengan menduduki wilayah Minangatamwan. Sejak awal pemerintahannya. Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
Raja Balaputra Dewa Pada masa pemerintahan Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kejayaannya. Pada awalnya. Raja Balaputra Dewa adalah raja dari Kerajaan Syailendra (di Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu. Raja Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Raja Balaputra Dewa) yang tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputra Dewa di Kerajaan Sriwijaya disambut baik. Kemudian, ia diangkat menjadi raja.
Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya berkembang pesat. Raja Balaputra Dewa meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrana Wijayattunggawarman berhasil ditawan. Namun pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman dibebaskan kembali.
d. Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
Pada awal pertumbuhannya, Kerajaan Sriwijaya mengadakan perluasan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah sekitamya. Setelah berhasil menguasai Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya dipindah dari Muara Takus ke Palembang. Dari Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat menguasai daerah-daerah di sekitamya seperti Bangka, Jambi Hulu dan mungkin juga Jawa Barat (Tammanegara). Maka dalam abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai kunci-kunci jalan perdagangan yang penting seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa bagian barat.
Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu menduduki Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra. Pendudukan terhadap daerah Semenanjung Malaya bertujuan untuk menguasai daerah penghasil lada dan timah. Sedangkan pendudukan terhadap Tanah Genting Kra bertujuan untuk menguasai jalur perdagangan antara Cina dan India. Tanah Genting Kra sering digunakan oleh para pedagang untuk menye-berang dari perairan Laut Hindia ke Laut Cina Selatan, untuk menghindari persinggahan di pusat Kerajaan Sriwijaya.
Pada akhir abad ke-8 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara, baik yang melalui Selat Sunda maupun Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting Kra. Dengan wilayah kekuasaan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi Kerajaan Laut terbesar di Asia Tenggara.
e. Sriwijaya sebagai Negara Maritim
Berita tentang Kerajaan Sriwijaya berasal dari seorang musafir Cina bernama I-tsing (671 M). Berita lain berasal dari tahun 683 M dengan ditemukannya Prasasti Kedukan Bukit di Bukit Sigutang (dekat Palembang).
Prasasti mi menyebutkan bahwa seorang raja yang bijaksana berlayar ke luar negeri untuk mencari kekuatan gaib. Usaha besar yang dimaksudkan itu adalah perjalanan ekspedisi Raja Sriwijaya yang berhasil dengan gemilang menaklukan Bangka dan Melayu (di Jambi).
Prasasti Kota Kapur (686 M) yang ditemukan di Pulau Bangka menyata-kan bahwa penduduk Pulau Bangka tunduk pada Kerajaan Sriwijaya. Diberitakan pula bahwa Kerajaan Sriwijaya telah melakukan ekspedisi ke Pulau Jawa. Perluasan yang dilakukan Kerajaan Sriwijaya bertujuan untuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda, yang merupa-kan jalur pelayaran dan perdagangan yang penting. Keberhasilan Kerajaan Sriwijaya berkuasa atas semua selat itu menjadikannya sebagai penguasa tunggal jalur aktivitas perdagangan dunia yang melalui Asia Tenggara.
Armada Kerajaan Sriwijaya yang kuat dapat menjamin keamanan aktivitas pelayaran dan perdagangan. Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk singgah di pusat atau di bandar Kerajaan Sriwijaya. Semakin ramainya aktivitas pelayaran perdagangan mengakibatkan Kerajaan Sriwijaya menjadi tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara. Pengaruh dan peranan Kerajaan Sriwijaya semakin besar di laut. Bahkan para pedagang dari Kerajaan Sriwijaya juga melakukan hubungan sampai di luar wilayah Indonesia, sampai ke Cina di sebelah utara/ atau Laut Merah dan Teluk Persia di sebelah barat.
f. Hubungan Luar Negeri
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Pala (Nalanda) di Benggala dan Kerajaan Cholamandala di pantai timur India Selatan.
D Sriwijaya dan Pala
Sekitar abad ke-8 M hingga abad ke-11 M daerah Benggala diperintah oleh raja-raja dari Dinasti Pala. Seorang rajanya yang terbesar bernama Raja Dewa Paladewa (abad ke-9 M). Hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Kera¬jaan Pala amat baik, terutama dalam bidang kebudayaan dan agama. Kedua kerajaan ini menganut agama Buddha. Banyak Bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya belajar agama di perguruan tinggi Nalanda. Hubungan baik ini dibuktikan dengan Prasasti Nalanda (860 M). Di samping pembebasan lima desa dari pajak, prasasti itu juga berisi pernyataan bahwa Raja Balaputra Dewa terusir dari Kerajaan Syailendra akibat kalah perang melawan kakaknya Pramo-dhawardani dan kemudian diangkat menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya. Dengan demikian, hubungan dengan Kerajaan Pala adalah untuk mendapat-kan dukungan dalam memperkuat kedudukannya menjadi raja di Sriwijaya.
Sriwijaya dan Cholamandala
Pada awalnya hubungan kedua kerajaan itu amat baik. Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayattunggawarman mendirikan satu biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.
Persahabatan kedua kerajaan berubah menjadi permusuhan akibat persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan. Raja Rajendra Chola yang berkuasa di Kerajaan Chola melakukan dua kali serangan ke Kerajaan Sriwijaya. Serangan pertama tahun 1007 M mengalami kegagalan. Namun, serangan kedua (1023/1024 M) berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya/ bahkan Raja Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan.
Serangan itu tidak mengakibatkan terjadinya penjajahan, karena tujuannya hanya membinasakan armada Kerajaan Sriwijaya. Jika kekuatan Kerajaan Sriwijaya berhasil ditaklukkan, maka jaringan pelayaran perdagangan di wilayah Asia Tenggara hingga India dapat dikuasai oleh Kerajaan Chola.
Walaupun serangan Kerajaan Chola tidak mematikan Kerajaan Sriwijaya, tetapi untuk sementara kekuatan Sriwijaya lumpuh. Kelumpuhan Kerajaan Sriwijaya merupakan peluang baik bagi Airlangga di Jawa Timur yang dengan cepat menyusun kekuatan angkatan perangnya, baik di darat maupun di laut. Dalam waktu singkat keruntuhan Kerajaan Dharmawangsa dapat ditegakkan kembali, sehingga ketika kekuatan Kerajaan Sriwijaya pulih kembali, di Jawa Timur telah berdiri negara besar dan kuat, sebagai saingannya.

g. Mundurnya Kerajaan Sriwijaya
Pada akhir abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh faktor politik dan ekonomi.
Faktor Politik Kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak, karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan kegiatan pelayaran perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang.
Dari daerah timur, Kerajaan Sriwijaya terdesak oleh perkembangan Kerajaan Singasari, yang pada waktu itu diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan Singasari yang berdta-cita menguasai seluruh wilayah Nusantara mulai mengirim ekspedisi ke arah barat yang dikenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi ini, Kerajaan Singasari mengadakan pendudukan terhadap Kerajaan Melayu, Pahang, dan Kalimantan, sehingga mengakibatkan kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak.
Faktor Ekonomi Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang, karena daerah-daerah strategis yang pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya telah jatuh ke kekuasaan raja-raja sekitarnya. Akibatnya, para pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah Genting Kra atau yang melakukan kegiatan ke daerah Melayu (sudah dikuasai Kerajaan Singasari) tidak lagi melewati wilayah kekuasaan Sriwijaya. Keadaan seperti ini tentu mengurangi sumber pendapatan kerajaan.
Dengan alasan faktor politik dan ekonomi, maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit tahun 1377 M.

Kerajaan Tarumanagara

a. Lokasi Kerajaan
Berdasarkan penemuan beberapa prasasti tentang Kerajaan Taruma¬negara, maka letak kerajaan itu adalah di wilayah Jawa Barat, dengan pusat kerajaan terletak di sekitar daerah Bogor sekarang.
Adapun wilayah kekuasaan Tarumanegara meliputi daerah Banter^ Jakarta, sampai perbatasan Cirebon, sehingga dapat ditafsirkan bahwa pada masa pemerintahan Raja Purnawarman wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara hampir menguasai seluruh wilayah Jawa Barat.
b. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara .berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti (dari dalam negeri).
Berita Asing Berita Cina, dari zaman Dinasti
Tang menyebutkan bahwa seorang pendeta yang bernama Fa-Hien terdampar di pantai utara Pulau Jawa (414M) ketika ia hendak kembali dari India ke negerinya di Cina. Dalam catatan perjalanannya, ia menye¬butkan bahwa di daerah pantai utara Pulau Jawa bagian barat telah ditemukan masyara-kat yang mendapat pengaruh Hindu (India). Masyarakat yang ditemukan itu diperkirakan menjadi bagian dari masyarakat Kerajaan Tarumanegara.
Prasasti Prasasti-prasasti yang menerangkan keberadaan Kerajaan Tarumanegara antara lain:
Prasasti Ciaruteun (Ciampea, Bogor), Prasasti Kebon Kopi (Bogor), Prasasti Jambu (Bogor), Prasasti Muara Cianten (Bogor), Prasasti Tugu (Jakarta Utara), Prasasti Pasir Awi (Leuwiliang), Prasasti Munjul (Banten)
Prasasti-prasasti tersebut menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Namun, karena pada prasasti tidak ditemukan angka tahun, maka untuk menentukan tahun tulisan prasasti itu diadakan perbandingan melalui huruf-huruf pada prasasti yang ditemukan di India. Dari perbandingan tersebut, prasasti itu diperkirakan ditulis pada abad ke-5 M.
Kehidupan Politik
Berdasarkan tulisan yang terdapat pada prasasti-prasasti diketahui bahwa raja yang pernah memerintah di Kerajaan Tarumanegara hanyalah Raja Purnawarman. Bahkan raja siapa yang pernah memerintah sebelum dan sesudah Raja Purnawarman tidak pernah diketahui. Hal ini disebabkan tidak terdapatnya data yang menyatakan tentang keberadaan raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Tarumanegara.
Raja Purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini dibuktikan dari prasasti tugu yang menyata¬kan Raja Purnawarman telah memerintah untuk menggali satu saluran air. Penggalian saluran air ini sangat besar artinya, karena merupakan pem-buatan saluran irigasi untuk memperlancar pengairan sawah-sawah pertanian rakyat.

Kerajaan Kutai

a. Lokasi Kerajaan
Berdasarkan sumber-sumber berita yang berhasil ditemukan menunjuk-kan bahwa Kerajaan Kutai terletak di Kalimantan Timur, yaitu di hulu Sungai Mahakam. Nama kerajaan ini disesuaikan dengan nama daerah tempat penemuan prasasti, yaitu di daerah Kutai. Hal ini disebabkan, karena setiap prasasti yang ditemukan tidak ada yang menyebutkan nama dari kerajaan tersebut. Oleh karena itu, para. ahli memberi nama kerajaan itu Kutai. Wilayah Kerajaan Kutai mencakup wilayah yang cukup luas, yaitu hampir menguasai seluruh wilayah Kalimantan Timur. Bahkan pada masa kejayaannya Kerajaan Kutai memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu hampir sebagian wilayah Kalimantan.
b. Sumber sejarah
Sumber yang menyatakan bahwa di Kalimantan Timur telah berdiri dan berkembang kerajaan yang mendapat pengaruh Hindu (India) adalah beberapa penemuan peninggalan berupa tulisan (prasasti). Tulisan itu ada pada tujuh tiang batu yang disebut dengan yupa. Tiang batu atau yupa itu digunakan untuk mengikat hewan korban. Korban itu merupakan persembahan rakyat Kutai kepada para dewa yang dipujanya. Tulisan yang terdapat pada yupa itu menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta.
c. Kehidupan Politik
Sejak muncul dan berkembangnya pengaruh Hindu (India) di Kalimantan Timur, terjadi perubahan dalam tata pemerintahan, yaitu dari pemerintahan kepala suku menjadi pemerintahan kerajaan dengan seorang raja sebagai kepala pemerintah. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Kutai adalah sebagai berikut
Raja Kudungga Raja Kudungga adalah raja pertama yang berkuasa di Kerajaan Kutai. Akan tetapi, apabila dilihat dari nama raja yang masih meng-gunakan nama lokal, para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah seorang kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya menjadi raja, sehingga pergantian raja dilakukan secara turun-temurun.
Raja Aswawarman Prasasti Yupa menyatakan bahwa Raja Aswawarman merupakan seorang raja yang cakap dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal ini dibuktikan dengan pelaksanaan upacara Asmawedha. Upacara-upacara ini pernah dilakukan di India pada masa pemerintahan Raja Samudragupta ketika ingin memperluas wilayahnya. Dalam upacara itu dilaksanakan pelepasan kuda dengan tujuan untuk menentukan batas kekuasaan Kerajaan Kutai. Dengan kata lain, sampai di mana ditemukan tapak kaki kuda, maka sampai di situlah batas Kerajaan Kutai. Pelepasan kuda-kuda itu diikuti oleh prajurit Kerajaan Kutai.
Raja Mulawarman Raja Aswawarman digantikan oleh putranya yang bernama Raja Mulawarman. la adalah raja terbesar dari Kerajaan Kutai. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Kutai mengalami masa yang gemilang. Rakyat hidup tenteram dan sejahtera. Dengan keadaan seperti itulah akhirnya Raja Mulawarman mengadakan upacara kurban emas yang amat banyak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar