Cari Blog Ini

Minggu, 10 Oktober 2010

SEJARAH KAPITALISME PERIFERAL DAN KEGAGALAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA: TATAPAN HISTORIS-STRUKTURAL


Pendahuluan

Pada Desember 1997, ekonomi Indonesia terpuruk ke jurang krisis yang dalam. Krisis terjadi tidak lama setelah World Bank mengeluarkan laporan tahunan yang berisi puja-puji atas prestasi ekonomi yang mengagumkan, dengan pertumbuhan GDP rata-rata 7.7 persen antara 1991-1994, 8.2 persen pada 1995, dan 7.8 persen pada 1996. Gambaran itu seketika runtuh ketika depresiasi baht Thailand menjalar ke Indonesia dan menghantam sendi-sendi perekonomian nasional.[1] Dunia perbankan bankrut dan rupiah terjun bebas menembus Rp 14.800 per US$. Secara keseluruhan, ekonomi Indonesia pada 1998 mengalami kontraksi sebesar 14 persen. Paket dana penyelamatan IMF sebesar US$ 43 milyar gagal untuk mengendalikan krisis.[2] Resep IMF untuk mengetatkan fiskal dan mencabut subsidi bahan bakar minyak dan makanan justru memperburuk keadaan. Keresahan masyarakat segera merambat menjadi kerusuhan. Soeharto akhirnya jatuh di bawah tekanan krisis ekonomi dan politik sekaligus.
Dalam perkembangan berikutnya, Indonesia termasuk negara yang paling klambat keluar dari krisis. Tidak ada satupun krisis finansial di negara-negara Asia pada 1997-1998 yang mewariskan efek seburuk Indonesia. Dalam waktu sekejap, pertumbuhan ekonomi spektakuler yang dicapai dalam dua dekade berguguran dihempaskan krisis.[3] Di antara negara-negara yang terkena dampak krisis ekonomi, seperti Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand, Indonesia termasuk yang paling lama beranjak ke pemulihan. Korea Selatan membutuhkan delapan kuartal untuk menjadikan nilai riil PDB-nya lebih tinggi dari nilai tertingginya sebelum krisis. Malaysia perlu sepuluh kuartal, lebih lambat setengah tahun, yaitu pada kuartal kedua tahun 2000. Thailand memerlukan dua puluh kuartal untuk mencapai kondisi sebelum krisis. Sementara Indonesia adalah negara terakhir yang berhasil melewati nilai riil PDB tertingginya sebelum krisis. Setelah berjalan selama enam tahun atau dua puluh empat kuartal, baru pada kuartal ketiga tahun 2003 nilai riil PDB Indonesia bisa melewati angka tertingginya sebelum krisis.[4]
Tulisan ini mencoba menganalisis sebab-sebab kegagalan pembangunan Indonesia dengan menggunakan pendekatan eklektik. Pertama, penulis akan menggunakan pendekatan historis struktural, sebuah pendekatan yang dikembangkan dari teori dependensia. Pendekatan historis struktural dikembangkan dari teori dependensia yang mencoba melacak akar-akar ketergantungan suatu negara karena pola hubungan yang asimetris dengan negara-negara lain. Teori ketergantungan, dalam coraknya yang radikal seperti dikembangkan Andre Gunder Frank,[5] cenderung menyalahkan faktor eksternal sebagai penyebab tunggal keterbelakangan. Tesis ini banyak dikritik karena mengabaikan faktor-faktor internal seperti hambatan-hambatan sosial dan kultural bagi terjadinya perubahan, instabilitas politik, dan lemahnya pasar lokal.[6]
Pendekatan historis struktural mencoba menganalisis sebab-sebab keterbelakangan pada dua level sekaligus, yaitu pada aras struktural dan kultural. Tulisan ini mencoba menjelaskan terjadinya kegagalan pembangunan dengan mencarikan varibel penjelasnya pada faktor-faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa tingkat ketergantungan ekonomi Indonesia yang sangat besar pada modal dan pasar internasional. Begitu dalamnya tingkat ketergantungan ini sehingga ekonomi Indonesia akan mengalami stagnasi dan dislokasi jika linkage dengan pasar internasional mengalami gangguan. Sementara faktor internal berupa rekam jejak sejarah Indonesia sebagai negeri jajahan yang mewarisi unsur-unsur rusak dari sistem ekonomi kapitalis.
Kedua, penulis akan menggunakan teori analisis kelas yang dikembangkan Richard Robison. Dalam perspektif Robison, masyarakat dunia ketiga sebaiknya tidak dilihat sebagai proses tunggal yang secara deterministik selalu terhisap dan didorong ke arah keterbelakangan. Tetapi, sebagai berbagai macam variasi yang berkembang menurut konfigurasi spesifik dari formasi pertentangan kelas di setiap masyarakat. Kebijakan ekonomi Indonesia selalu mencerminkan transformasi dalam struktur kelas dan pergeseran peta kekuatan antar mereka dalam mempengaruhi corak suatu kebijakan perekonomian. Negara, pada gilirannya, tidak bisa lagi dilihat sebagai panitia pengatur penghisapan surplus, melainkan sebagai suatu komponen terpadu dalam kasus-kasus formasi dan konflik kelas dan menjadi bagian dari transformasi bentuk-bentuk serta hubungan-hubungan produksi.[7]

Akar-akar Kegagalan Pembangunan Indonesia
Seperti dicatat Farchan Bulkin,[8] negara Indonesia lahir ketika perekonomian dan masyarakat Indonesia tengah dilanda oleh arus kekuatan sejarah yang amat penting, yaitu kapitalisme. Namun, kapitalisme yang tumbuh di Jawa dan pulau-pulau sekitarnya pada permulaan abad ke-19 tidaklah seperti jenis kapitalisme yang berkembang di Eropa Barat. Kapitalisme tumbuh dalam corak yang telah mengalami distorsi strukural. Barangkali, sumber pokok masalah kapitalisme di Indonesia bukanlah terletak semata bahwa ia merupakan sistem kapitalis, tetapi lebih pada kenyataan bahwa ia hadir sebagai sebuah sistem yang telah mengalami distorsi struktural. Karena itu, ia disebut sebagai kapitalisme kolonial (colonial capitalism),[9] tergantung (dependent capitalism),[10] pinggiran (peripheral capitalism),[11] atau semu (ersatz capitalism).[12]
Pembangunan kapitalis di negeri-negeri poskolonial seperti Indonesia banyak mengalami kegagalan karena ia berdiri di atas landasan yang secara struktural rusak. Kerusakan itu adalah akibat dari watak dasar kolonialisme yang menghisap. Menurut Hatta, perekonomian suata negara pada umumnya ditentukan oleh tiga hal: kekayaan tanahnya, kedudukannya terhadap negara lain dalam lingkungan internasional, dan sifat, kecakapan, serta cita-cita rakyatnya. Untuk Indonesia harus ditambah satu pasal lagi, yaitu sejarahnya sebagai tanah jajahan.[13] Panjangnya lorong gelap kolonialisme telah mendistorsi struktur ekonomi Indonesia dan membuatnya berjalan pincang. Ia tak akan bisa berjalan tegak atau, dalam istilah Soekarno, berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) tanpa intervensi pihak lain.
Jika kapitalisme yang tumbuh di Eropa telah terbukti mendorong tumbuhnya demokrasi, hak asasi, dan keadilan sosial sebagai sebuah pemecahan politik, ia disebarkan ke mana-mana dengan ciri dan perwatakan lain. Ia menyebar dan diterima, namun bukan sebagai sebuah solusi politik, melainkan justru seringkali menjadi sumber persoalan sosial, politik, dan ekonomi.
Di Indonesia, awal terbentuknya kapitalisme periferal ditandai dengan didirikannya Perusahaan Negara N.H.M. (Nederlandsche Handel Maatschappij) pada tahun 1828, Javasche Bank tahun 1828 dan diterapkannya sistem tanam paksa (cultuur stelsel) tahun 1830. Periode ini merupakan babakan terpenting dalam pertumbuhan kapitalisme di Jawa. Dalam skala tertentu, periode ini hampir menyamai situasi pada abad ke-15 dan 16 dari perkembangan kapitalisme di Eropa. Lahirnya babakan ini telah menerjang dan menghancurkan elemen-elemen tua non kapitalis dan menandai lahirnya suatu jenis kapitalisme. Jawa dan pulau-pulau lain pada era kolonial dijadikan sebagai staatsbedrijf (perusahaan negara) yang dihisap untuk kepentingan ekonomi kolonial. Jawa menjadi sebuah hamparan perkebunan perusahaan negara yang sangat besar. Sejak saat itu, kapitalisme yang tumbuh dan berkembang di Jawa memunculkan beberapa distorsi.[14]
Distorsi pertama ditunjukkan oleh perwatakan umum dalam proses produksi komoditas. Jika pada fase awal pertumbuhan kapitalisme di Inggris maupun Jepang proses produksi komoditas ditopang oleh sinergi antara sektor industri dan pertanian, pertumbuhan kapitalisme di Indonesia dan banyak negara-negara dunia ketiga menunjukkan watak yang lain. Proses produksi komoditas tidak tuntas secara internal tanpa intervensi kapitalisme pusat. Proses produksi di pulau Jawa dan sekitarnya dipersiapkan untuk membuat komoditas ekspor dan menjadi pangsa pasar produk-produk impor. Dengan kata lain, proses produksi tidak diarahkan untuk memacu pertumbuhan ke dalam, tetapi diperah untuk memperkuat struktur luar. Sektor pertanian dihisap, namun bukan untuk membangun industrialisasi dan memacu pertumbuhan ekonomi domestik sebagaimana terjadi di Inggris dan Jepang. Selepas tahun 1830, sebagaimana dikatakan Geertz, para petani di Jawa terhisap namun bukan untuk industrialisasi dan penguatan struktur ekonomi domestik. Mereka terhisap dan menderita, namun bukan untuk apa-apa (suffered for nothing).[15] Geertz menyebut proses ini sebagai agricultural involution, yakni tragedi involusi yang terjadi akibat gagalnya sektor pertanian menopang tumbuhnya sektor industri domestik. Sektor pertanian, dengan kata lain, tidak memperoleh kompensasi apa-apa dari penderitaannya.
Distorsi kedua, sebagai akibat distorsi pertama, adalah tidak terjadinya akumulasi dan konsentrasi modal secara internal. Akumulasi kapital terjadi di luar sistem, yaitu di lingkungan kapitalisme pusat. Seluruh sirkulasi dan sumber daya ekonomi di Jawa dicurahkan untuk meghasilkan sejumlah kemenangan modal yang dipusatkan di Eropa. Implikasi yang mendalam dari distorsi ini adalah bahwa kapitalisme periferal selalu gagal menumbuhkan aset-aset kekuatan produktif domestik yang mandiri. Ini disebabkan oleh fakta bahwa besarnya modal yang diperas untuk kegiatan produksi ternyata tak menghasilkan keuntungan yang dipusatkan di dalam sistem produksi itu sendiri, tetapi dilarikan untuk sistem di luarnya, yaitu di kapitalisme pusat. Dua distorsi struktural ini kelak menyebabkan kapitalisme yang terbentuk di Indonesia secara intrinsik mengandung kekacauan. Distorsi di atas mengakibatkan munculnya, paling tidak, tiga gugus persoalan yang menyumbang terjadinya kegagalan pembangunan di Indonesia.
Pertama, ketergantungan yang berlebihan terhadap pasar internasional dan timbulnya dislokasi dan stagnasi jika linkage dengan pasar ekonomi internasional mengalami gangguan. Gejala ini pernah muncul di Jawa pada 1885, dalam mana saat proses produksi dalam negeri well integrated dengan pasar internasional, pertumbuhan ekonomi menunjukkan sinyal positif. Namun, tiba-tiba terpukul oleh jatuhnya harga gula dan kopi di Eropa.[16]
Kedua, kesulitan untuk mengusahakan industrialisasi sebagai akibat tidak terjadinya akumulasi dan konsentrasi modal secara internal.[17] Proses industrialisasi tidak ditopang oleh kekuatan-kekuatan kapital domestik, melainkan bergantung kepada pasokan modal asing dan kucuran dana internasional. Tidak gampang, karena itu, mengharapkan tumbuhnya sektor industri tanpa investasi asing. Kecenderungan ini berlaku baik pada masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi. Ekonom-ekonom Indonesia hingga kini menyatakan bahwa tumbuhnya industri secara keseluruhan masih harus menunggu meningkatnya investasi.[18] Tersumbatnya investasi asing di sektor industri dapat mengakibatkan deindustrialisasi. Gejala demikian ditandai oleh melemahnya daya saing sektor industri Indonesia. Hal itu tampak dalam runtuhnya sektor produksi manufaktur yang berbasis tenaga kerja (padat karya), seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, elektronik, dan mebel.[19] Hancurnya sektor industri mengakibatkan munculnya berbagai persoalan struktural, termasuk pengangguran.
Ketiga, tingginya ketergantungan Indonesia terhadap dana luar negeri, baik yang berupa hutang maupun investasi asing. Suntikan dana asing sangat esensial bagi proses pembangunan Indonesia. Hengkangnya investasi asing berarti ancaman terhadap stabilitas ekonomi dalam negeri. Pada masa Orde Lama, ketika para investor dan perusahaan asing hengkang dari Indonesia sebagai buntut terjadinya gerakan sentimen anti modal asing pada 1957, yang ditandai oleh pengumuman nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing milik Belanda oleh presiden Soekarno, perekonomian Indonesia terpuruk tajam dan memuncak pada 1960-an ketika inflasi mencapai sekitar 600 persen.[20] Kejadian serupa berulang pada 1997. Gejolak politik ekonomi 1997 menyebabkan massifnya arus dana yang lari ke luar negeri (capital flight). Menurut catatan Prasetiantono, angka pelarian modal sejak akhir tahun 1997 mencapai jumlah yang cukup fantastis, yakni 35 milyar dollar AS.[21] Hengkangnya modal asing dari Indonesia praktis membuat perekonomian nyaris lumpuh total. Pasar bergerak lamban dan unit-unit usaha gulung tikar. Ini mengingatkan kembali pada situasi tahun 1885 pada masa kapitalisme Jawa dan pada tahun 1960-an pada era Orde Lama. Ekonomi domestik diterjang krisis sebagai akibat putusnya sambungan dengan dana asing dan pasar internasional. Pola ini nyaris berulang-ulang pada setiap penggal sejarah. Konstatasi kasus-kasus itu menunjukkan bahwa ciri-ciri kapitalisme periferal masih bertahan, bahkan hingga saat ini.

Negara dan Masyarakat: Disartikulasi atau Involusi?
Terbentuknya kapitalisme periferal di Indonesia telah membawa dampak yang sangat luas, termasuk dalam struktur sosial politik masyarakat. Lapisan kelas menengah pribumi, sebagaimana kelas borjuasi Eropa yang menyangga pertumbuhan kapitalisme, praktis tidak terbentuk di sini. Hal ini akibat sektor ekonomi modern dikuasai oleh pengusaha dan birokrat Belanda sebagai lapisan kelas atas. Sementara itu, Cina yang mengontrol sebagian besar perdagangan eceran, industri kecil dan pengumpul barang dagangan berada di lapisan kelas menengah. Kaum pribumi menempati strata sosial terbawah yang marjinal secara ekonomi. Hingga berakhirnya era kolonialisme, kelas borjuis pribumi relatif masih sangat lemah dan kebanyakan hanya terkonsentrasi di sektor perdagangan.
Terisolasinya kelas menengah pribumi dalam sistem kapitalisme periferal telah mendorong artikulasi kesadaran kebangsaan mereka lebih banyak ke dunia politik dan ideologi. Dekade ke-2 hingga ke-4 abad ke-20 menjadi saksi atas tumbuhnya berbagai macam organisasi sosial politik yang digerakkan oleh kelas menengah pribumi. Masa itu ditandai oleh arus politisasi dan ideologisasi massa dalam skala luas. Deprivasi ekonomi membuat opsi politik menjadi satu-satunya jalan yang tersedia bagi kaum borjuis pribumi untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Menarik dibandingkan bahwa kelas menegah di Eropa pada awalnya adalah kekuatan ekonomi, kemudian politik, baru ideologi. Sementara tahapan kelas menengah di Indonesia justru dimulai sebagai kekuatan ideologi, kemudian politik, baru berusaha menciptakan kekuatan ekonomi. Seturut dengan perbandingan ini adalah jika dalam masyarakat industrial kekayaan menghasilkan kekuasaan, dalam masyarakat agraris kekuasaan menghasilkan kekayaan.[22] Untuk menjadi kaya orang harus berkuasa dulu, bukan kaya dulu baru berkuasa. Mobilitas vertikal ditempuh melalui jalur politik, bukan ekonomi. Hal ini adalah akibat dari struktur kapitalisme yang melumpuhkan bangkitnya kelas menengah pribumi sebagai agen kekuatan ekonomi mandiri. Kapitalisme tanpa kelas menengah pribumi pada gilirannya menyebabkan bangsa Indonesia gagal meggerakkan diri ke dalam dinamika terarah menuju penciptaan civil society.[23]
Analisis Robison mengenai formasi kelas menjadi sangat relevan dalam kasus ini. Kegagalan pembangunan Indonesia turut disebabkan kegagalan kelas menengah Indonesia untuk mentransendensi struktur kapitalisme periferal. Yang dimaksud dengan mentransendensi adalah menolak secara tegas kapitalisme dan kemudian mencarikan alternatifnya, atau menerima dengan tegas seraya membinasakan distorsi-distorsi yang melekat padanya. Kegagalan ini sekurang-kurangnya menyebabkan terjadinya dua hal. Pertama, kesulitan untuk merekayasa terbentuknya kelas menengah pribumi yang mendiri. Kedua, kegagalan untuk menetapkan model pembangunan ekonomi yang dianut. Bangsa Indonesia selalu diliputi kegamangan di antara dua pilihan: apakah akan menjadi negara kapitalis atau sosialis. Berikut ini diuraikan perspektif mengenai dua hal tersebut.

Kelas Menengah Pribumi dan Politik
Pada tahun 1945, terjadi suatu babakan penting dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu diproklamasikannya negara Indonesia. Namun, perlu dicatat, negara Indonesia yang baru diproklamasikan itu berdiri di atas fondasi ekonomi yang rapuh dengan struktur ketergantungan yang sangat rentan terjadinya dislokasi dan stagnasi. Kemenangan politik dan ideologi pada 1945 tetap berpijak di atas landasan ekonomi kolonial yang belum berubah, bahkan lebih jelek. Hal itu terjadi karena dua hal. Pertama, pada tingkat internasional terjadi dislokasi dan kerusakan pasar dunia akibat perang dunia II. Dan kedua, pada tingkat domestik, hancurnya prasarana dan organisasi kapitalis serta instabilitas struktur finansial sebagai akibat gejolak politik dalam negeri sepanjang tahun 1942-1949.[24] Dalam negara yang baru merdeka itu, pola pemilikan aset-aset produksi, alokasi faktor-faktor produksi dan sentralitas peranan sektor ekspor dan impor jelas menunjukkan bahwa kapitalisme periferal yang berkembang sejak abad ke-19 masih tetap bertahan, tentunya dalam kedaan rusak.
Masalah muncul ketika para pemimpin pergerakan tergelincir untuk hanya memandang kolonialisme sebagai sebuah kenyataan rasial dan politik tetapi kurang sebagai sebuah realitas sosial dan ekonomi. Karena itulah, peralihan kekuasaan dengan proklamasi kemerdekaan berlangsung lebih sebagai sebuah peristiwa politik, bukan peralihan radikal dalam bentuk pemindahan kekuasaan sosial dan ekonomi. Sejarah pasca kemerdekaan lantas dipenuhi oleh usaha berbagai aktor politik Indonesia untuk menjabarkan praksis kemerdekaan pada tataran yang lebih konkret dan operasional.
Artikulasi paham kebangsaan pasca kemerdekaan diawali tahun 1949, saat kedaulatan RI diserahterimakan dan para wakil masyarakat naik ke tampuk kekuasaan sebagai kelas elit politik baru. Mereka mencoba menjabarkan paham kebangsaan yang manifestasinya dalam politik ditandai oleh penerimaan atas lembaga-lembaga demokrasi seperti parlemen, konstituante, dan konstitusionalisme. Dalam ekonomi, mereka percaya kemungkinan bisa diusahakannya transfer aset-aset ekonomi ke tangan kekuatan nasional. Mereka mencoba merekayasa terciptanya kelas borjuis pribumi untuk mengambil alih peran yang selama ini dimainkan oleh kompeni Belanda. Langkah ini sejak awal sudah terbentur dengan persoalan struktural dan kesulitan-kesulitan objektif ekonomi. Di antaranya, mereka harus berhadapan dengan kenyataan bahwa sektor penerimaan dari ekspor bahan mentah dan produksi pertanian, yang sangat sentral peranannya dalam struktur kapitalisme peripheral, mengalami kemerosotan. Mereka tersadar betapa sulitnya menggerakkan roda ekonomi tanpa bertumpu pada pasokan modal asing.
Ancaman inflasi serius dirasakan pada pertengahan 1954, terutama disebabkan oleh pribumisasi melalui kredit, pengeluaran lisensi dan proteksi yang mengakibatkan terjadinya defisit anggaran belanja dan terkurasnya cadangan devisa. Demokrasi parlementer yang diterima sebagai sistem politik dan dipercaya bisa mendorong tumbuhnya kelas borjuasi atau golongan menengah pribumi justru menimbulkan keruwetan politik. Ia masih bertahan, hanya karena tidak ada sistem lain yang mungkin.[25] Kabinet jatuh bangun menandai situasi sosial politik yang tidak stabil dan penuh konflik. Rekayasa penciptaan kelas borjuis pribumi dihempang oleh kenyataan bahwa kelas menengah yang mereka dambakan sebagai aktor sentral tumbuhnya civil society tersangkut oleh hambatan-hambatan struktural, yaitu masih bertahannya struktur kapitalisme periferal. Kebijakan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dan Program Benteng pada masa kabinet Natsir (1950-1951) yang berusaha mendorong lapisan kelas menengah pribumi bergiat di sektor industri modern gagal melepaskan mereka dari keterkungkungan struktural itu.
Rencana Urgensi Perekonomian ini menetapkan bahwa pemerintah akan menguasai “industri-industri vital” yang baru, termasuk pabrik-pabrik untuk keperluan pertahanan, industri kimia dasar, pabrik semen, instalasi pembangkit tenaga, instalasi irigasi dan perusahaan angkutan. Berdasarkan rencana ini, pemerintah akan menyediakan modal sekurang-kurangnya 50 persen dan akan memegang dua pertiga dari saham-saham istimewa (preferred shares) serta suara mayoritas di dalam dewan redaksi. Rencana ini juga akan memberikan dukungan kepada industri kecil di daerah pedesaan, seperti pengolahan kulit, pembuatan payung, batu bata dan keramik. Industri ukuran menengah dan besar akan didirikan dan dibagi dalam proyek jangka pendek dan jangka panjang. Proyek jangka pendek mencakup percetakan, pengolahan karet (remilling), pabrik genteng dan sejumlah pabrik lainnya. Proyek jangka panjang mencakup pabrik kaustik soda, pabrik pupuk, pabrik aluminium, apbrik kertas, pabrik-pabrik pintal dan rajut serta beberapa proyek lain.[26]
Sementara gagasan utama Program Benteng adalah mendorong para importer nasional agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan impor asing. Selain membatasi impor barang-barang tertentu dan pemberian lisensi impor hanya kepada para importer Indonesia, program itu juga memberi bantuan dalam bentuk kredit keuangan kepada para importer Indonesia, yang sebagian besar tidak memiliki modal yang memadai untuk memulai impor dan tidak dapat memperoleh kredit dari sumber-sumber keuangan swasta. Untuk bisa diakui senagai perusahaan Benteng, sebuah perusahaan impor harus memiliki modal sekurang-kurangnya 70 persen yang berasal dari bangsa Indonesia asli, yang secara khusus digunakan untuk menunjuk warganegara pribumi.
Pelaksanaan konsep ekonomi yang nasionalistik itu gagal, sekurang-kurangnya karena dua hal. Pertama, jumlah orang Indonesia yang sudah terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit untuk dapat melakukan tugas merencanakan dan melaksanakan kebijaksanaan guna mendorong perkembangan suatu kelas pengusaha golongan pribumi dan untuk mempercepat perbaikan ekonomi mereka. Kedua, Perusahaan-perusahaan milik asing dan orang Cina mendominasi sector-sektor ekonomi modern, sedangkan orang Indonesia tidak memiliki modal dan ketrampilan berwiraswasta yang diperlukan untuk dapat bersaing secara ekonomi dengan mereka.[27]
Hal lain yang bisa menjelaskan mengapa upaya-upaya restrukturisasi perekonomian yang dijalankan sepanjang tahun 1949-1957—sejak dari kabinet Hatta hingga Burhanuddin Harahap—selalu menemui jalan buntu adalah sikap konservativisme elit politik Indonesia yang gagal untuk bersikap tegas dan kurang berani mengambil keputusan radikal dan konfrontatif terhadap kapitalisme periferal. Mereka enggan menjalankan restrukturisasi radikal dan cenderung membiarkan tetap beroperasinya kekuatan ekonomi kolonial di bidang perkebunan, industri minyak, pengapalan dan perkapalan. Hingga tahun 1957, “Lima Besar” (The Big Five) raksasa konglomerat Belanda masih tetap mendominasi sektor-sektor produktif dan perkapalan antar pulau.[28] Industri minyak Indonesia juga terbenam dalam genggaman Belanda, Amerika, dan Inggris. Perekonomian Cina di bidang perdagangan retail dan industri kecil juga dibiarkan tetap utuh tanpa gugatan serius kecuali di bidang perbankan dan impor. Farchan Bulkin menilai kebijakan yang cenderung konservatif ini lahir sebagai cermin sikap hidup kaum intelektual dan profesional kota yang memang dominan dalam kepemimpinan kabinet. Posisi kelas dan latar belakang keilmuan mereka yang rata-rata berpendidikan Barat membuat mereka lebih tertarik kepada perombakan ekonomi yang bersifat damai dan inkremental.[29] Mereka tidak tertarik kepada pemecahan-pemecahan yang bersifat radikal. Konsep ekonomi mereka yang menekankan stabilitas, keteraturan, penegakan hukum dan pembangunan ekonomi “menetes ke bawah” justru sejalan dengan kepentingan ekonomi Barat.
Kebijakan-kebijakan ekonomi konservatif ini pada urutannya gagal menahan laju hiperinflasi yang terus memburuk. Ketergantungan terhadap investasi asing muncul kembali pada 1957 saat gerakan sentimen anti modal asing menguat di Indonesia. Puncak sentimen itu ditandai ketika presiden Soekarno mengumumkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing milik Belanda sekaligus membubarkan parlemen dan memutuskan negara dalam keadaan darurat.[30] Kejadian itu membuat para investor dan perusahaan asing hengkang dari Indonesia dan mendorong perekonomian Indonesia terpuruk tajam pada tahun 1960-an dengan tingkat inflasi mencapai sekitar 600 persen.[31]
Tahun 1957 merupakan tonggak yang sangat penting untuk menganalisis pergeseran peta kekuatan negara dan masyarakat di Indonesia. Periode 1957 menandai menguatnya unsur kekuatan negara (militer) yang mendesak mundur unsur kekuatan masyarakat. Sejarahnya bermula pada 1952 saat Indonesia mengalami kebuntuan perekonomian. Pemerintah secara otomatis melakukan rasionalisasi dan penghematan anggaran untuk membiayai sektor pengeluaran, termasuk jatah belanja militer. Rasionalisasi anggaran yang dilakukan pada masa Kabinet Wilopo disetujui oleh para perwira tinggi berpendidikan Barat, namun mendapat tentangan keras dari tentara berlatar belakang PETA. Pergesekan itu berujung pada terjadinya peristiwa “uji coba pemberontakan” pada 17 Oktober 1952. Mulai saat itu, militer mulai mencari sumber pembiayaan lain di luar anggaran negara. Maka tercatat bahwa sepanjang tahun 1954-1958 banyak perwira tinggi yang terlibat tidak hanya dalam penyelundupan dan perdagangan gelap, tetapi juga dalam rivalitas, pertentangan, bahkan pemberontakan.[32]
Ketika jenderal Nasution berhasil melakukan penyatuan angkatan pada pertengahan 1958, kesadaran akan pentingnya pemupukan basis ekonomi, sosial, politik, dan ideologi di kalangan internal militer sudah berkembang sangat kuat. Karena itu, segera setelah dilakukan nasionalisasi perusahaan asing, Nasution meminta jatah untuk kepentingan ekonomi korps agar para perwira senior atau yang sudah tidak bertugas ditempatkan dalam jajaran manajemen perusahaan itu. Konon, tindakan ini dilakukan Angkatan Darat untuk menghindarkan jatuhnya perusahaan-perusahaan tersebut ke tangan komunis.[33] Sejak saat itulah tentara sebagai unsur negara telah mengambil ruang yang selama periode Demokrasi Liberal diisi oleh hiruk pikuk kekuatan masyarakat. Menurut Anderson, periode demokrasi parlementer (1952-1957) merupakan satu-satunya momen saat kepentingan “masyarakat” atau “partisipatoris” dapat mengalahkan kepentingan ”negara”. Konsolidasi kekuatan negara dalam bentuk munculnya kekuatan tentara sejak kira-kira tahun 1957 berkulminasi pada pembentukan negara Orde Baru. Bagi Anderson, Orde Baru bisa dimengerti sebagai naiknya kembali kepentingan-kepentingan lama “negara” di atas kepentingan-kepentingan “partisipatoris” dan “representatif”. Upaya yang dilakukan Soekarno dalam periode Demokrasi Terpimpin (1957-1958) untuk menggalang kembali kekuatan populis dengan cara meradikalisasi massa dan mempropagandakan kebijakan ekonomi dan politik luar negeri yang autarkis dan anti imperialis gagal untuk bisa mengimbangi naiknya unsur kekukatan negara ini.[34] Dekrit presiden 5 Juli 1959 barangkali lebih menadai kemenangan unsur kekuatan negara dari masyarakat. Ini dibuktikan bahwa pada periode pasca itu, lembaga-lembaga kenegaraan, politik dan birokrasi telah berada dalam pengaruh kuat unsur militer.
Kendatipun terjadi konsolidasi kekuatan negara, ia tetap tumbuh di atas landasan perekonomian yang rapuh dengan tingkat dislokasi dan stagnasi yang tinggi. Pendapatan terbesarnya amat tergantung pada kegiatan ekonomi yang menghubungkan perekonomian domestik dengan pasaran internasional. Maka, dalam periode 1952-1965, perekonomian Indonesia berkembang ke arah yang amat buruk.
Narasi di atas menggambarkan bahwa masyarakat dan negara sama-sama terjebak dalam siklus melingkar. Artikulasi politik masyarakat pada masa demokrasi perlementer ternyata gagal menghantarkan pengembangan diri mereka menuju penciptaan civil society yang mandiri. Kegagalan ini berasal dari ketidaksiapan kelas menegah Indonesia untuk melakukan transendensi atas struktur kapitalisme periferal yang masih bertahan meskipun dalam keadaan rusak. Problem struktural perekonomian inilah yang mengganjal tumbuhnya kelas borjuis pribumi. Harapan dan impian tentang terciptanya basis kelas yang siap berkompetisi dalam ekonomi pasca kolonial kandas oleh tiadanya infrastruktur yang mendukung mereka bergiat di sektor ekonomi modern. Kompensasi dari kegagalan ini pada akhirnya membawa mereka larut dalam dunia politik dan agitasi dengan gemuruh heroisme dan sloganisme.
Kegagalan masyarakat untuk mentransformasikan kekuatannya menuju kelompok masyarakat yang terorganisir pada akhirnya membuka ruang bagi unsur negara (militer) untuk konsolidasi. Konsolidasi yang telah dimulai sejak 1957 ini kelak berkulminasi pada terbentuknya negara Orde Baru. Kendatipun debut awal pemerintahannya ditandai oleh kebijakan-kebijakan pro-pasar, Orde Baru adalah rezim yang tetap gamang di antara dua pilihan; apakah sepenuhnya akan mengikuti jalan kapitalis atau proteksionis.

Orde Baru: Interaksi Modal dan Kekuasaan
Ada banyak teori untuk menjelaskan fenomena negara Orde Baru. Namun, watak dan karakter negara Orde Baru sesungguhnya lebih rumit untuk dikerangkai dalam satu penghampiran teoritis tertentu. Apalagi, jika hendak diteropong dari perspektif ideologis. Kebijakan ekonomi politik sepanjang sejarah Orde Baru amat sulit dijelaskan dengan satu bingkai ideologi tertentu. Amat sulit untuk menyebut bahwa berkuasanya Orde Baru menandai pergeseran dari rezim sosialis ke rezim kapitalis. Sebagaimana diingatkan Hall Hill, adalah keliru untuk melihat pergantian kekuasaan di tahun 1966 sebagai perubahan dari sebuah rezim “sosialis” ke rezim “kapitalis” dan “pasar bebas”. Sebab, di sana masih menyebar rasa curiga yang berakar terhadap kekuatan pasar, liberalisme ekonomi, dan milik pribadi (terutama “Cina”) di banyak kalangan Indonesia.[35] Perdebatan mengenai kebijakan ekonomi politik yang berbasiskan argumen ideologi menjadi kurang relevan karena dalam struktur kebijakan Orde Baru, peran ideologis muncul sebagai akibat dari pilihan kebijakan dan bukan merupakan sebab yang melahirkan kebijakan itu.
Analisis historis struktural telah dipakai sepanjang tulisan ini untuk membaca sejarah keterkungkungan Indonesia sejak masa kolonial. Perspektif kelas yang dikembangkan Richard Robison berikut akan digunakan untuk melengkapi model analisis struktural. Jika analisis struktural mengarahkan lensa analisisnya pada bangunan tempat aktor bergerak, analisis kelas bertumpu pada dialektika aktor dan konfigurasi kelas yang mengisi bangunan itu. Analisis struktural telah dipakai untuk menangkap konstatasi bangunan ekonomi yang pada setiap penggal sejarah selalu memiliki dampak buruk yang menghambat aktor-aktor ekonomi Indonesia bergiat di sektor ekonomi. Sementara analisis kelas akan dipakai untuk menunjukkan bahwa ketidakjelasan ideologi ekonomi politik Indonesia adalah akibat langsung dari kegagalan kelas menengah Indonesia mentransendensi struktur kapitalisme periferal pasca kemerdekaan. Keterbatasan kelas menengah untuk menjatuhkan pilihan-pilihan kebijakan yang berisafat radikal membuat peta ideologi ekonomi Indonesia sulit digolongkan ke dalam aliran pembangunan tertentu. Ini terlihat dari berubah-ubahnya platform kebijakan ekonomi Indonesia sepanjang sejarah Orde Baru berkuasa.
Ketika menapaki jenjang kekuasaan pertama kali, Orde Baru dihadapkan pada hiperinflasi yang menjadi aspek utama hancurnya Demokrasi Terpimpin. Pemerintah baru di bawah Soeharto mewarisi keadaan ekonomi yang sudah hampir ambruk. Hutang luar negeri berjumlah $ 2.400 juta, laju inflasi mencapai 20-30 persen sebulan, infrastruktur berantakan, kapasitas produksi sector-sektor industri dan ekspor sangat merosot dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah tidak jalan lagi. Kebobrokan struktural yang diwariskan Orde Lama dan minimnya sumber daya domestik untuk menopang restrukturisasi perkonomian telah membantu teknokrat Indonesia, Widjodjo Nitisastro, untuk menyakinkan Soeharto bahwa dukungan massif dari luar negeri adalah sesuatu yang esensial. Dan untuk mendapat dukungan ini perlu desain kebijakan yang sanggup mengundang simpati kekuatan kapitalis Barat dan Jepang. Maka, secara sistematis diselenggarakanlah tindakan: mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan mengakhiri pengendalian harga secara resmi pada 1966; pengembalian perusahaan-perusahaan asing yang dinasionalisasi, perumusan Undang-Undang Penanaman Modal Asing secara longgar pada 1967, rasionalisasi perbankan dan tingkat suku bunga pada 1968, pengakhiran nilai tukar berganda antara 1968 dan 1971, dan sebagainya. Buah yang dipetik dari tindakan ini cukup fantastis; mengucurnya bantuan lebih dari setengah milyar dollar pada 1968, dan “sogokan tahunan IGGI” dalam skala yang kolosal. Bantuan kumulatif hingga peristiwa “mendapatkan durian runtuh” OPEC pada akhir 1973 berjumlah mencapai 3 milyar dollar.[36] Massifnya arus dana yang masuk ke kas negara menjadi faktor terpenting yang memungkinkan Soeharto sepanjang tahun 1970-an membangun negara (Beamtentstaat) yang bahkan lebih kuat dari masa kolonial Belanda.
Konsep ekonomi yang memandu kebijakan restrukturisasi Orde Baru di awal kekuasaannya adalah free market yang didesian para teknokrat “Mafia Barkeley” di bawah koordinasi Widjodjo Nitisastro. Kebijakan ekonomi pada fase ini memiliki corak yang kurang lebih sama dengan kesadaran konservativisme borjuis pada masa demokrasi liberal yang cenderung pro pasar. Ketika terjadi “oil booming” pada 1970-an, saat total pendapatan nasional 70 persen dipasok dari ekspor migas, muncul kebijakan ekonomi yang cenderung nasionalis proteksionistik. Membanjirnya uang minyak turut meningkatkan operasi dan keberadaan perusahaan negara. Beberapa di antaranya terlibat dalam pembiayaan dan investasi di berbagai proyek berbiaya tinggi. Kubu yang dominan pada era kejayaan minyak ini adalah Ibnu Sutowo (direktur utama pertamina), B.J. Habibie (Menristek), Soehoed (menteri perindustrian), dan beberapa faksi lain di kubu ini.[37] Menyertai berakhirnya era kejayaan minyak pada awal 1980-an, saat harga minyak dunia merosot dan gelombang resesi dunia sempat mengancam pertumbuhan ekonomi, pemerintah terpaksa menggali sumber keuangan lain di luar sektor migas. Situasi perekonomian yang memburuk pada periode ini membuat pengaruh kubu teknokrat kembali menguat. Dari tahun 1983-1989, pemerintah menerapkan paket kebijakan deregulasi yang dirancang oleh kubu teknokrat pro pasar yang dimotori oleh ekonom Ali Wardhana, Radius Prawiro, dan J.B. Sumarlin. Dinamika politik zaman deregulasi 1980-an, dan dalam batas-batas tertentu hingga 1990-an, diwarnai oleh persaingan tak berkesudahan antara kubu teknokrat dengan kubu nasionalis/teknologi tinggi.
Sejarah kebijakan ekonomi politik Orde Baru menunjukkan betapa sulitnya mengambil suatu kesimpulan “tunggal” tentang paham atau “ideologi” kebijakan yang dianut. Meningkatnya orientasi pasar pada periode awal kekuasaan Orde Baru dan pada 1980-an, sama sekali bukan parameter bahwa Orde Baru adalah negara kapitalis. Sama halnya kuatnya peran kubu nasionalis pada 1970-an tidak lantas membawa kesimpulan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia bercorak sosialis. Menurut Basri, apa yang terjadi sesungguhnya tak lebih dari sekadar tarik menarik kepentingan kelas dalam pilihan kebijakan ekonomi di Indonesia. Sulit untuk memastikan bagaimana bingkai ideologi berperan dalam penentuan kebijakan perekonomian. Sebab, sekali lagi, peran ideologis di sini muncul sebagai akibat dari pilihan kebijakan dan bukan merupakan sebab yang melahirkan kebijakan itu. Jika peran kelompok intervensionis menguat, maka harga kebijakan pro pasar menjadi mahal dan pilihan kebijakan akan menuju ke intervensi pemerintah. Sedangkan di masa krisis, ketika peran kelompok pro pasar menguat, maka harga intervensi pemerintah menjadi mahal, dan pilihan beralih kepada kebijakan pro pasar. Dengan kata lain, amatlah sulit untuk memutuskan apakah kebijakan ekonomi Indonesia berhaluan liberal atau proteksionis. Yang terjadi sesungguhnya adalah interaksi rumit antara modal dan kekuasaan.[38] Pilihan kebijakan tentu diarahkan kepada pilihan-pilihan yang paling murah dan aman bagi kelanggengan legitimasi politik Orde Baru dan formasi kelas pendukungnya.

Republik & Reformasi: Quo Vadis?
Setelah tujuh tahun reformasi bergulir, beberapa ciri dari kapitalisme periferal masih kita rasakan hingga kini. Ada dua hal yang bisa kita catat sebagai indikator. Pertama, publik masih belum mampu mengatasi keterasingannya dari partisipasi yang berarti dalam politik dan ekonomi, suatu persoalan yang telah berumur tua, sejak zaman kolonial hingga sekarang. Publik juga belum menempati posisi sentral yang menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi politik negara. Rakyat memang telah memilih pemimpin mereka secara langsung, namun kini semakin banyak yang berkata bahwa pemilu tidak akan mengubah nasib mereka karena aspirasi kaum miskin tidak pernah tertuang dalam kebijakan publik.[39] Publik semakin terasing dengan demokrasi, karena demokrasi tidak membuat rakyat menjadi semakin sehat, bahagia, saling percaya, saling toleran dan tidak mengutamakan kebendaan.[40] Kerisauan dan kebimbangan publik terhadap demokrasi tercermin dalam opini publik yang terekam di media massa.[41]
Gugatan terhadap demokrasi muncul karena demokrasi kian menjadi alat bagi segelintir elit (bisnis maupun politik) untuk memuluskan kepentingan-kepentingan mereka. Kampanye demokrasi oleh Dunia Barat semakin dipahami sebagai kampanye pasar bebas dunia dengan aktor-aktor seperti IMF, World Bank, dan WTO. Demokrasi pada akhirnya hanya menjadi instrumen untuk menegakkan pasar bebas, sebab pasar bebas sulit terjadi tanpa ditopang sisem demokrasi. Inilah yang diingatkan Hertz bahwa aktor-aktor kapitalis global mengambil alih secara diam-diam kedaulatan publik dalam demokrasi. Kendatipun pemimpin pemerintahan dipilih oleh mereka, namun kebijakan pemerintah lebih banyak ditentukan oleh korporasi-korporasi multinasional. Di titik itulah demokrasi mati.[42] Warisan kapitalisme periferal di Indonesia bukan hanya menyebabkan involusi pertanian, tetapi juga involusi demokrasi. Demokrasi dipersoalkan, karena ia hadir tidak selalu sebagai sebuah pemecahan politik.
Indikator kedua adalah masih tingginya ketergantungan Indonesia terhadap dana luar negeri, baik yang berupa hutang maupun investasi asing. Hingga hari ini, dari empat komponen PDB Indonesia (konsumsi, ekspor, impor, dan investasi), faktor terakhir merupakan tumpuan yang paling handal. Menurut estimasi Bank Pembangunan Asia, untuk mencapai pertumbuhan 6 persen Indonesia membutuhkan investasi sekitar 70 miliar dollar AS. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen, dibutuhkan investasi untuk infrastruktur sebesar 150 dollar AS untuk 10 tahun. Ini dihitung menggunakan ICOR (incremental capital output ratio) atau rasio kebutuhan modal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi 5 persen (2004), Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp 379,8 triliun dan untuk pertumbuhan 5,5 persen (2005), Indonesia membutuhkan 471,4 triliun.[43] Sumber terbesar investasi berasal dari penanaman modal asing. Pendeka kata, upaya pemulihan ekonomi selalu dikaitkan dengan investasi asing. Tidak aneh, upaya untuk menarik investasi asing langsung (foreign direct investment) menjadi salah satu tugas pokok setiap pemerintahan baru di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tidak mungkin mengandalkan konsumsi, karena konsumsi tak mungkin terus tumbuh tanpa pendapatan dari proses produksi. Petumbuhan berbasis konsumsi tidak akan berlangsung lama (not sustainable) dan berpotensi memicu inflasi.[44]
Selain investasi asing, Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lain juga mengandalkan hutang sebagai modal bagi pembangunan mereka. Akumulasi hutang telah membuat negara-negara ini terjerat dalam perangkap hutang (debt trap). Sebagian dari mereka tergolong negara-negara miskin pengutang berat (heavily indebted poor countries-HIPCs) yang mempunyai utang 170 milyar dollar AS kepada kreditor internasional. Sembilan dari sepuluh HIPCs ini tidak dapat membayar utang karena rendahnya penerimaan ekspor dan GNP (Gross National Product).[45]
Indonesia (per Desember 1998) menanggung beban hutang luar negeri sebesar 150 milyar dollar AS (85 milyar dollar AS utang pemerintah dan 65 milyar dollar AS utang swasta). Indonesia juga memikul hutang dalam negeri sebesar Rp 650 triliun. Dengan demikian, perekonomian Indonesia saat ini secara keseluruhan menanggung beban utang sebesar Rp 2.100 triliun. Dengan hutang luar negeri sebesar 150 milyar dollar AS, Indonesia kini terpuruk menjadi negara pengutang terbesar kelima di dunia. Urutan pertama hingga keempat dengan volume utang luar negeri sebesar 232, 183, 159, dan 154 milyar dollar AS berturut-turut adalah Brazil, Rusia, Mexico, dan Cina.[46] Besaran hutang telah membuat Indonesia berakali-kali terjerat dalam defisit APBN. Selama tiga tahun terakhir, Indonesia rata-rata menghabiskan 25 persen (seperempat) belanja negara tahunannya untuk membayar cicilan pokok dan bunga hutang luar negeri. Contoh gambarannya dapat disimak pada APBN 2005. Dari total belanja negara sebesar Rp 336.1 triliun, 26.7 triliun di antaranya digunakan untuk membayar bunga utang luar negeri. Jika ditambah dengan bunga utang dalam negeri sebesar Rp 55.1 triliun, praktis 24 persen APBN 2005 habis terpakai untuk membayar bunga utang. Itu belum termasuk untuk membayar angsuran pokok utang yang jatuh tempo. Jika ditambah dengan pembayaran angsuran pokok utang masing-masing sebesar Rp 17.2 triliun dan Rp 12.0 triliun untuk utang luar negeri dan utang dalam negeri, maka sepertiga belanja negara terkuras untuk membayar beban utang.[47] Besaran tanggungan ini sudah cukup menjadi alasan bagi pemerintah untuk memangkas pos-pos belanja publik. Berbagai subsidi barang-barang publik seperti minyak dan makanan dicabut. Jika ini terjadi, problem yang membelit Indonesia selalu akan terulang. Pemerintahan goncang karena dua hal; minyak dan beras. Beberapa rezim di Indonesia jatuh karena gagal mengelola dua sumber konsumsi utama ini.
Dua hal ini menjadi indikator betapa struktur kapitalisme periferal masih bertahan, dengan akibat terasingnya publik terus menerus dari proses pembangunan. Di dunia manapun, pembangunan pasti gagal jika tidak melibatkan publik sebagai pelaku dan pendukung utamanya.

Penutup: Kesimpulan dan Saran
Kapitalisme yang tumbuh di negara-negara poskolonial seperti Indonesia secara intrinsik mengandung cacat bawaan. Jika di Eropa Barat demokrasi muncul karena liberalisasi ekonomi yang menumbuhkan kelas borjuis, yang kemudian melandasi munculnya civil society, maka rute serupa banyak tidak berlaku di negara-negara lain. Bila di Eropa Barat kapitalisme melahirkan demokrasi, sehingga terkenallah ungkapan Moore: “No Bourgeoisie, No Democracy”,[48] maka akumulasi kapital di negara-negara lain berjalan serempak dengan otoritarianisme. Borjuasi pribumi yang diharapkan menjadi kelas otonom untuk menyangga demokrasi gagal tumbuh, sebab dalam rezim otoriter birokratik kelas-kelas menengah yang lahir adalah kelas yang bergantung dan diciptakan oleh negara. Riggs menyebutnya dengan “pariah enterpreneur”, yaitu kelas wiraswasta yang tidak mungkin independen dari negara.[49] Kelas itu tumbuh berkat koneksinya dengan para birokrat, yang memperoleh fasilitas-fasilitas khusus bagi usaha mereka.
Kapitalisme periferal bertahan begitu lama di Indonesia karena kelas menengah generasi awal republik ini gagal mentransendensi warisan buruk dari sistem yang telah mengalami distorsi structural itu. Akibatnya, bangsa Indonesia tidak hanya terasing dari wilayah ekonomi, tetapi juga politik. Publik terus berada di pinggir agenda pembangunan. Hutang dan ketergantungan terhadap modal asing semakin menjauhkan mimpi para founding fathers mengenai ide berdiri di atas kaki sendiri (berdikari).
Generasi baru Indonesia sekarang tidak boleh mengulangi kegagalan yang sama seperti para pendahulunya. Karena di antara warisan buruk masa silam adalah hutang dan ketergantungan terhadap modal asing, maka cara untuk mentransendensi kapitalisme periferal sekarang ini ada dua hal. Pertama, mendesakkan penghapusan atan minimum pemotongan hutang. Tuntutan ini realistis, sebab di antara hutang-hutang yang menjerat bangsa Indonesia tidak seluruhnya dipakai untuk menggalakkan pembangunan. Sebagian di antaranya justru dikorupsi elit-elit pemerintah dan digunakan untuk menopang otoritarianisme. Skema penghapusan hutang pernah dilakukan Nigeria. Dengan kesungguhan negosiasi, pemerintah Nigeria telah memperoleh penghapusan utang sebesar 67 persen (sekitar USD 17 miliar) dari total utang kepada kreditor internasional sebesar USD 25 miliar. Bahkan, sisanya sekitar USD 8 miliar masih akan dibeli kembali (buy back) pada harga big discount sehingga dalam waktu enam bulan, nyaris 100 persen utang Nigeria akan dihapuskan. Demikian juga Argentina yang berhasil mendapat pemotongan utang sebesar 70 persen (sekitar USD 72 miliar) dari total utang sebesar USD 102.6 miliar. Dengan strategi pengurangan utang selama beberapa tahun terakhir, ekonomi Argentina yang anjlok sekitar 11 persen pada tahun 2002, akhirnya dapat segera pulih dan tumbuh tinggi sekitar 8 persen pada 2003 dan 2004, karena tidak dibebani oleh kewajiban mencicil utang yang besar setiap tahunnya.[50]
Dengan penghapusan atau pemotongan utang, semakin besar porsi anggaran untuk kesejahteraan publik. Cara ini efektif menghempang salah satu warisan buruk kapitalisme periferal, yaitu terasingnya publik dari proses pembangunan. Dana yang diusahakan publik tidak dikembalikan kepada mereka, tetapi untuk membayar hutang yang sebagian di antaranya tidak ikut mereka nikmati. Hutang-hutang semacam inilah yang oleh Alexander Nahum Sack disebut sebagai hutang najis (odious debt) yang tidak wajib ditanggung rakyat. Hutang yang dipakai rezim despotik untuk menopang kekuasaannya seharusnya gugur bersamaan tumbangnya rezim despotik itu.[51]
Kedua, mengurangi ketergantungan terhadap modal asing dengan cara menggalakkan pembangunan berbasis modal dalam negeri. Indonesia bisa meniru Malaysia yang memiliki beberapa agen penghimpun dana domestik seperti Perbadanan Nasional Berhad (Pernas), Permodalan Nasional Berhad (PNB), Amanah Saham Nasional (ASN), dan Amanah Saham Bumiputera.[52] Melalui lembaga ini publik dilibatkan dalam menggerakkan roda ekonomi nasional. Privatisasi tidak dilakukan, kecuali setelah melalui penawaran publik perdana (initial public offering).
Usaha di bidang ekonomi ini harus berjalan serempak dengan tindakan di bidang politik. Reformasi ekonomi harus disangga oleh reformasi politik. Tulisan ini ingin menggaungkan kembali apa yang sudah direkomendasikan I Wibowo.[53] Pertama, sistem multipartai harus didorong keluar dari basis suku dan agama dan menggantinya dengan program-oriented (Robert Kaplan). Kedua, bandit-bandit berkelana harus dihentikan dengan menegakkan sistem hukum yang efektif (Mancur Olson). Ketiga, kelompok minoritas harus dilindungi dari diktator mayoritas dengan undang-undang anti-diskriminasi (Amy Chua). Keempat, kekuasaan pelaku bisnis internasional (MNC) dan organisasi internasional harus diawasi oleh satu lembaga tersendiri (Noreena Hertz). Sinergi langkah ekonomi dan politik ini diharapkan akan melepaskan Indonesia dari perangkap buruk kapitalisme periferal dan akhirnya terwujud pembangunan yang berparadigma dari, oleh dan untuk rakyat.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, Patricia, Odious Debt: Loose Lending, Corruption and the Third World’s Environmental Legacy. Canada: Eartscan, 1991.

Alavi, Hamza, “The Structure of Peripheral Capitalism”, dalam Hamza Alavi and Theodore Shanin, (eds.) Introduction to the Sociology of Developing Societies. New York: Monthly Review Press, 1978.

Amir Nadapdap, “Demokrasi untuk Indonesia, Mungkinkah?”, Kompas, 27 Oktober 2003

Anderson, Benedict R ‘O.G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press, 1990.

A Ahsin Thohari, “Demokrasi Sekaligus Nomokrasi”, Kompas, 7 Nopember 2003.

A Prasetyantoko, “Denasionalisasi Ekonomi”, Kompas, 4 Februari 2004

A Tony Prasetiantono, “Apa Lagi Yang Mau Kita Dapat dari CGI”, Kompas, 7 November 2001

A Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebiksanaan Ekonomi Indonesia, 1950-1980. Jakarta: LP3ES, 1991.

Boeke, J.H., Economics and Economic Policies of Dual Societies. Harleem: H.D.Tjeenk Willink, 1953.

Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Cardoso, Fernando Henrique, “Associated-Dependent Development: Theoritical and Practical Implication”, dalam Alfred Stepan (ed.), Authoritarian Brazil. New Haven and London: Yale University Press, 1973.

Chatib Basri, “Antara Marx dan Schindler: Perihal Modal dan Kekuasaan di Indonesia”, Jurnal Kalam 17 (2001).
______, “Mulai Bergairahkah Ekonomi Kita?”, Kompas, 20 Oktober 2003
______, “Kebutuhan Investasi: Realistiskah?”, Kompas, 23 Maret 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar