Cari Blog Ini

Senin, 18 Oktober 2010

SEJARAH SINGKAT PERANG DUNIA PERTAMA 1914–1918

Baru pada bulan Oktober 1918, ketika tidak dapat disangsikan lagi Jerman akan kalah dalam Perang Dunia Pertama, dilakukan perubahan konstitusi yang bersifat menentukan dan yang membuat kanselir Reich tergantung dari kepercayaan Reichstag. Penguatan kedudukan parlemen itu bertujuan mempengaruhi negara-negara demokrasi Barat yang bakal menjadi pemenang agar setuju dengan perdamaian yang lunak, serta mencegah revolusi dari bawah. Kedua tujuan tersebut tidak tercapai, tetapi para lawan demokrasi kemudian dengan mudah memfitnah sistem parlementer sebagai “kebaratan” dan “bukan Jerman”.

Revolusi dari bawah pecah pada bulan November 1918, karena reformasi yang diputuskan pada bulan Oktober tinggal di atas kertas saja. Sebagian besar angkatan bersenjata tidak bersedia tunduk kepada kepemimpinan politik oleh pimpinan Reich yang bertanggung jawab kepada parlemen. Namun revolusi Jerman pada tahun 1918/19 tidak pantas terhitung di antara revolusi besar atau klasik dalam sejarah dunia. Untuk mengalami perombakan politik dan kemasyarakatan yang radikal menurut contoh Revolusi Perancis pada tahun 1789 atau Revolusi Oktober di Rusia pada tahun 1917, Jerman telah terlalu “modern” di sekitar tahun 1918 itu. Di negara yang sejak setengah abad telah mengenal hak pilih umum dan sama untuk laki-laki pada tingkat nasional, tidak pada tempatnya kalau dicoba menegakkan diktatur revolusioner. Yang diupayakan hanyalah pengembangan demokrasi. Secara konkret hal itu berarti: pemberlakuan hak pilih untuk perempuan, demokratisasi hak pilih di negara bagian, distrik dan kota, serta perwujudan sepenuhnya prinsip pemerintahan yang bertanggung jawab kepada parlemen.

Kontinuitas antara Kekaisaran dan Republik Weimar, yang dihasilkan oleh penumbangan monarki pada bulan November 1918 dan pemilihan umum untuk Dewan Konstituante Jerman pada bulan Januari 1919, memang cukup besar. Malah boleh dikatakan lembaga raja sebagai penguasa tunggal tetap dipertahankan, walaupun dalam bentuk lain: Jabatan Presiden Reich yang dipilih langsung oleh rakyat mencakup kewenangan yang begitu besar, sehingga orang pada waktu itu sudah menjulukinya sebagai “gantinya kaisar” atau “kaisar tiruan”.

Di segi moral pun tidak tampak terputusnya hubungan dengan kekaisaran. Tidak ada pembahasan serius tentang siapa yang bersalah atas pecahnya perang, walaupun (atau karena) kesalahan itu terungkap dengan jelas dalam dokumen-dokumen Jerman: Setelah pewaris takhta Austria-Hongaria terbunuh di Sarajevo pada tanggal 28 Juni 1914, pimpinan Reich dengan sengaja memperuncing krisis internasional, dan dengan demikian memikul tanggung jawab utama atas pecahnya Perang Dunia I. Akibat tidak adanya diskusi mengenai pencetusan perang itu timbul legenda mengenai Jerman yang tidak bersalah menjelang perang dunia tersebut. Bersama dengan apa yang disebut “legenda tikaman pisau belati”, (yang mengatakan bahwa pengkhianatan di tanah air menyebabkan kekalahan Jerman di medan perang) legenda tersebut ikut merongrong legitimitas negara demokratis Jerman yang pertama.

Perjanjian damai yang terpaksa ditandatangani oleh pihak Jerman di Versailles pada tanggal 28 Juni 1919, dirasakan oleh hampir semua orang Jerman sebagai perjanjian yang sama sekali tidak adil. Yang dinilai tak adil ialah penyerahan wilayah di beberapa daerah Jerman – khususnya kepada Polandia yang baru dibentuk sebagai negara – pampasan perang yang sangat tinggi, hilangnya koloni-koloni dan pembatasan di bidang militer. Alasan yang diberikan untuk semua pembebanan tersebut ialah kesalahan Jerman dan sekutunya sebagai pencetus perang. Hal lain yang dirasakan tidak adil adalah larangan bagi Austria untuk bergabung dengan Jerman. Pada waktu itu halangan utama pembentukan “Jerman yang besar” telah hilang dengan runtuhnya monarki wangsa Habsburg di Austria-Hongaria. Kedua pemerintahan revolusi di Wina dan Berlin pun telah menyatakan kemauan agar kedua republik yang berbahasa Jerman itu segera bergabung. Sudah diyakini oleh kedua belah pihak bahwa tuntutan itu sangat populer di negara masing-masing.

Larangan penggabungan dalam kedua perjanjian damai Versailles dan Saint-Germain tidak dapat mencegah kembali berkembangnya gagasan “Jerman yang besar”. Gagasan itu berhubungan dengan lahirnya kembali ide Reich yang lama: Justru karena Jerman kalah secara militer dan menderita karena dampak kekalahan itu, warganya gampang tergoda oleh gambaran masa lampau yang diidealisasi.Kerajaan Romawi Suci di abad pertengahan bukanlah negara kebangsaan, melainkan bersifat supranasional dengan cita-cita universal. Warisan itulah yang menjadi pegangan pasca-1918, khususnya bagi golongan kanan yang mencitakan peran baru bagi Jerman: Sebagai kekuatan penata di Eropa, Jerman diharapkan menjadi pelopor dalam perjuangan melawan demokrasi di barat dan bolsyewisme di timur.

1919–1933: Republik Weimar

Republik Weimar hanya bertahan sebelas tahun sebagai negara demokrasi parlementer. Pemerintah mayoritas terakhir yang dipimpin Hermann Müller dari Partai Sosialis-Demokrat, jatuh pada akhir bulan Maret 1930 akibat perselisihan mengenai reformasi asuransi pengangguran. Koalisi besar yang memerintah hingga saat itu diganti oleh kabinet minoritas beraliran tengah pimpinan Heinrich Brüning dari Partai Zentrum, yaitu partai Katolik. Mulai pertengahan tahun 1930, kabinet itu menjalankan roda pemerintahan dengan bantuan peraturan darurat yang dikeluarkan Presiden Reich, Panglima Besar Angkatan Darat Paul von Hindenburg yang sudah sepuh. Baru setelah Partai Nasionalsosialis (NSDAP) pimpinan Adolf Hitler menjadi partai terbesar kedua melalui pemilihan umum untuk Reichstag tanggal 14 September 1930, partai Sosialis-Demokrat (SPD) yang tetap menjadi partai terbesar mulai mentolerir kabinet Brüning. Langkah itu diharapkan akan mencegah pergeseran ke kanan lebih lanjut di Reich, sekaligus mempertahankan demokrasi di Prusia. Yang memerintah di Prusia, satuan negara terbesar di Reich, pada waktu itu ialah SPD bersama dengan Zentrum, partai Brüning itu, dan Partai Demokrat yang beraliran tengah.

Sejak peralihan ke sistem peraturan darurat oleh Presiden, kewenangan Reichstag sebagai organ legislatif berkurang dibandingkan pada era monarki konstitusional di kekaisaran. Akibat pelemahan parlemen itu, peranserta para pemilih pun kehilangan arti. Keadaan itu dimanfaatkan oleh kekuatan penentang tatanan parlementer dari kanan dan kiri. Keuntungan terbesar dipetik oleh NSDAP, partai Nazi itu. Sejak fraksi Sosialis- Demokrat mendukung Brüning, Hitler dapat mengajukan gerakannya sebagai satu-satunya alternatif kerakyatan di hadapan semua versi “marxisme”, baik yang bolsyewis maupun yang reformis. Kini ia dapat mempermainkan dua hal dalam seruannya. Yang pertama ialah sentimen anti-demokrasi parlementer yang tersebar luas, mengingat sistem politik tersebut memang sudah gagal sementara itu. Hal kedua ialah hak rakyat atas partisipasi dalam wujud hak pilih yang umum dan sama, seperti yang telah terjamin sejak era Bismarck. Pengaruh politik hak tersebut telah dihilangkan oleh ketiga pemerintah presidensial di bawah Brüning, Papen dan Schleicher pada awal tahun tiga puluhan. Hitler pun menikmati keuntungan terbesar dari demokratisasi Jerman yang timpang, yaitu cepatnya penerapan hak pilih demokratis dan lambatnya penerapan sistem pemerintahan parlementer.

1933–1945: Periode Nasionalsosialisme

Kekuasaan Hitler diraih bukan melalui kemenangan besar dalam pemilihan umum. Namun ia takkan menjadi Kanselir Reich seandainya pada bulan Januari 1933 ia tidak memimpin partai terkuat. Pada pemilihan umum untuk Reichstag yang terakhir di era Republik Weimar pada tanggal 6 November 1932, partai Nazi kehilangan dua juta suara dibandingkan dengan hasil pemilu pada tanggal 31 Juli 1932. Sebaliknya partai komunis berhasil mendapat tambahan 600.000 suara, sehingga mencapai angka magis 100 kursi Reichstag. Sukses Partai Komunis Jerman (KPD) itu memperbesar kekhawatiran akan perang saudara. Rasa takut itulah sekutu terkuat Hitler, terutama di kalangan elite kekuasaan yang konservatif. Berkat rekomendasi kalangan tersebut kepada Hindenburg, pada tanggal 30 Januari 1930 Hitler diangkat oleh Presiden Reich itu sebagai kanselir yang memimpin kabinet yang mayoritas anggotanya berhaluan konservatif.

Untuk tetap mempertahankan kekuasaan selama dua belas tahun pemerintahanReich Ketiga, tidak cukup menjalankan teror terhadap semua pihak yang berbeda pendapat. Hitler memperoleh dukungan dari sebagian besar kaum buruh, sebab ia berhasil menghapus pengangguran masal dalam waktu beberapa tahun saja. Sukses itu terutama didasarkan atas konyungtur industri persenjataan. Dukungan pekerja dapat dipertahankan oleh Hitler selama Perang Dunia II. Caranya dengan memeras tenaga kerja dan sumber daya di daerah-daerah pendudukan secara kejam, sehingga massa rakyat Jerman tidak mengalami kekurangan yang parah seperti pada Perang Dunia I. Sukses besar di bidang politik luar negeri dalam tahun-tahun menjelang perang, terutama pendudukan daerah Rheinland yang semula zone bebas militer serta “aneksasi” Austria pada bulan Maret 1938, membuat kepopuleran Hitler meroket di segala lapisan masyarakat. Mitos mengenai Reich dan misi historisnya, yang diperalat dengan cekatan oleh Hitler, terutama mempengaruhi orang Jerman yang terpelajar. Dukungan mereka dibutuhkan oleh pemimpin atau Führer yang karismatik itu, kalau ia ingin membuat Jerman menjadi kekuatan penata di Eropa secara lestari. Sebaliknya kalangan terpelajar itu memerlukan Hitler, karena di mata mereka tidak ada tokoh lain yang mampu mewujudkan impian mengenai negara yang besar orang Jerman.

Dalam berbagai kampanye pemilu pada awal tahun 1930-an, Hitler tidak menutupi sikapnya yang memusuhi orang Yahudi, tetapi juga tidak menonjolkannya. Di kalangan buruh, yang hendak dirangkul oleh semua pihak, sikap itu memang takkan disambut. Di kalangan warga terpelajar dan berada, begitu juga di antara tukang, pengusaha kecil dan petani, prasangka anti-Yahudi tersebar luas, tetapi mereka tidak menyukai “antisemitisme yang ribut”. Peristiwa pencabutan hak orang Yahudi di Jerman melalui Undang-Undang Ras yang disahkan di Nürnberg pada bulan September 1935 tidak menimbulkan protes, karena tidak melanggar formalitas hukum. Kekerasan dan kerusuhan pada malam 9 November 1938 (Reichskristallnacht) tidaklah populer, berbeda dengan “peng-arya-an” harta benda Yahudi, suatu aksi pengalihan harta secara besar-besaran yang dampaknya terasa hingga kini. Kabar mengenai holocaust, pemusnahan sistematis kaum Yahudi di Eropa pada masa Perang Dunia II, tersebar lebih luas daripada yang diinginkan oleh rezim Nazi. Namun agar sesuatu dapat diketahui perlu ada rasa ingin tahu, dan menyangkut nasib warga Yahudi, hal terakhir ini kurang di Jerman pada saat “Reich Ketiga”.

Dalam sejarah Jerman, jatuhnya Reich “Jerman yang besar” pimpinan Hitler pada bulan Mei 1945 berarti titik balik yang jauh lebih besar dampaknya daripada runtuhnya kekaisaran pada bulan November 1918. Keutuhan Reich itu sendiri tidak tersentuh seusai Perang Dunia I. Setelah kapitulasi tanpa syarat pada akhir Perang Dunia Kedua, selain kekuasaan pemerintah, wewenang menentukan masa depan Jerman juga berpindah ke tangan keempat negara pendudukan, yaitu Amerika Serikat, Uni Sovyet, Inggris dan Perancis. Berbeda dengan tahun 1918, pada tahun 1945 kuasa pimpinan politik dan militer Jerman dicabut. Para pejabat yang masih hidup diadili oleh Mahkamah Militer Internasional di Nürnberg (Perkara-Perkara Nürnberg). Para bangsawan pemilik latifundium di sebelah timur Sungai Elbe, yaitu kelompok yang lebih banyak berperan dalam proses penghancuran Republik Weimar dan pengalihan kekuasaan kepada Hitler daripada kelompok elite kekuasaan lainnya, kehilangan tanah dan harta. Ada yang harus meninggalkan daerah asalnya akibat dipisahkannya kawasan di sebelah timur Sungai Oder dan Sungai Neiße dekat Görlitz dari wilayah Jerman, kemudian ditempatkan di bawah administrasi Polandia atau, dalam hal Ostpreußen bagian utara, di bawah administrasi Uni Sovyet. Tanah milik sebagian lain dari kelompok tuan tanah tersebut disita dalam rangka land reform di zone pendudukan Uni Sovyet.

Berbeda dengan keadaan setelah tahun 1918, sehabis tahun 1945 tidak terdengar legenda mengenai Jerman yang tidak bersalah mencetuskan perang atau “legenda tikaman pisau belati”. Sudah nyata bahwa Jerman yang nasionalsosialis mencetuskan Perang Dunia II, dan hanya dapat ditumbangkan dari luar oleh kekuatan sekutu yang unggul. Baik dalam Perang Dunia Pertama maupun yang Kedua, mesin propaganda Jerman menggambarkan negara-negara demokrasi Barat sebagai plutokrasi imperialis, dan tatanan Jerman sendiri sebagai perwujudan keadilan sosial yang sempurna. Tidaklah masuk akal seandainya pasca-1945 demokrasi Barat kembali diserang. Akibat meremehkan ide-ide politik Barat, Jerman telah membayar harga yang sangat tinggi, dan semboyan-semboyan lama takkan laku lagi.

1949–1990: “Dwikenegaraan” Jerman

Pada era pascaperang, hanya satu bagian Jerman diberi peluang kedua untuk membangun kehidupan demokrasi: yang di barat. Para wakil masing-masing parlemen daerah hasil pemilu bebas di zone pendudukan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis berkumpul di Bonn pada tahun 1948/49 dan membentuk Dewan Parlementer. Mereka merumuskan konstitusi yang menarik konsekuensi sistematis dari kesalahan konstruksi konstitusi Reich dari tahun 1919, dan dari kegagalan Republik Weimar. NamanyaUndang-Undang Dasar (Grundgesetz) Republik Federal Jerman. Negara demokrasi Jerman yang kedua dirancang untuk menjadi demokrasi parlementer yang berfungsi dengan baik, dengan kanselir federal yang kuat posisinya dan yang hanya dapat digulingkan oleh “mosi tidak-percaya konstruktif”, artinya melalui pemilihan penggantinya, dan dengan presiden federal yang kewenangannya terbatas sekali. Berbeda dengan konstitusi Republik Weimar, tidak ada ketentuan mengenai legislasi langsung oleh rakyat yang menyaingi parlemen. Undang-undang dasar ini mengambil sikap tegas terhadap warga yang memusuhi demokrasi secara terbuka. Tindakan yang dapat diambil bahkan sampai ke pencabutan hak-hak dasar dan pelarangan partai yang menentang konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi Federal. Dasar negara ditetapkan dengan rumusan yang menutup peluang untuk merongrongnya, sekalipun oleh mayoritas parlemen yang dapat mengubah konstitusi, sehingga demokrasi tidak mungkin disingkirkan secara “legal”, seperti pada tahun 1933.

Sementara bagian barat Jerman menarik pelajaran “antitotaliter” dari zaman kekuasaan Nazi, bagian timur, yaitu zone pendudukan Uni Sovyet yang kemudian menjadi Jerman Timur atau RDJ, harus puas dengan sikap “antifasis”. Pengertian itu dipergunakan sebagai legitimasi diktatur partai yang berhaluan marxis-leninis. Garis pemisah dengan landasan kekuasaan rezim Nazi terutama hendak ditarik dengan alat politik-kelas, yaitu dengan menasionalisasi milik pengusaha pertanian dan industri. Sebaliknya orang yang tergolong “kaki-tangan Nazi” boleh berbakti dalam “pembangunan sosialisme”. Ada juga sejumlah bekas anggota partai NSDAP yang meraih posisi penting di RDJ setelah menjalani apa yang disebut denazifikasi. Namun jumlah mereka tidak begitu besar dan kasusnya kurang spektakuler dibandingkan dengan kasus yang terjadi di Jerman Barat.

“Kisah sukses Republik Federal Jerman” takkan pernah ada tanpa adanya “keajaiban ekonomi” pada dasawarsa 50-an dan 60-an, yaitu periode boom terlama pada abad ke-20. Berkat konyungtur tinggi itu, politik ekonomi-pasar berorientasi sosial yang dijalankan oleh menteri perekonomian federal pertama, Ludwig Erhard, memperoleh legitimasinya karena berhasil. Sukses itu mempercepat integrasi hampir delapan juta orang Jerman yang terusir dari kampung halamannya di bekas wilayah timur Reich Jerman, dari daerah Sudeten dan dari beberapa kawasan lain di bagian timur Eropa Tengah dan di Eropa Tenggara. Kemajuan ekonomi juga berperan besar dalam mengikis perbedaan kelas dan perbedaan haluan keagamaan, membatasi daya tarik partai-partai radikal, serta membuat partai-partai demokratis yang besar berkembang menjadi partai yang berakar dalam rakyat. Hal itu pertama-tama dialami oleh Uni Demokrat Kristen (CDU) dan Uni Sosial Kristen (CSU), kemudian oleh Partai Sosialis-Demokrat (SPD). Namun kesejahteraan sosial itu juga menunjukkan sisi lain di bidang politik dan moral, yaitu dengan memudahkan orang untuk tidak berintrospeksi dan menolak pertanyaan kritis orang lain tentang peranan masing-masing dalam kurun waktu 1933-1945. Filsuf Hermann Lübbe menyebut perlakuan masa lampau seperti itu “pendiaman komunikatif” (sambil menilainya sebagai faktor yang diperlukan dalam proses stabilisasi tatanan demokratis di Jerman Barat).

Dalam Republik Weimar, golongan kanan berhaluan nasionalis, sedangkan golongan kiri berhaluan internasionalis. Lain halnya di Republik Federal Jerman: Kekuatan tengah-kanan pimpinan Kanselir Federal pertama Konrad Adenauer men jalankan politik ikatan dengan Barat dan integrasi Eropa Barat secara supranasional. Golongan kiri moderat, partai SPD di bawah ketuanya yang pertama setelah perang, Kurt Schumacher, dan penggantinya Erich Ollenhauer menampilkan profil yang jelas berciri nasional, dengan memprioritaskan reunifikasi Jerman di atas integrasi ke Barat. Baru pada tahun 1960 SPD menerima perjanjian-perjanjian, yang pada tahun 1955 memungkinkan Republik Federal Jerman menjadi anggota NATO. Partai Sosialis- Demokrat harus mengambil langkah itu, agar dapat memperoleh tanggung jawab pemerintahan di RFJ. Hanya dengan mengakui perjanjian-perjanjian dengan pihak Barat itu, mereka dapat menjadi mitra yunior dalam pemerintahan koalisi besar pada tahun 1966 dan tiga tahun kemudian meluncurkan “neue Ostpolitik” (politik baru terhadap Eropa Timur) di bawah Kanselir Federal pertama dari SPD, Willy Brandt. Berkat Ostpolitik itu, Republik Federal Jerman dapat memberikan sumbangan sendiri demi peredaan ketegangan antara Timur dan Barat, dapat meletakkan dasar baru bagi hubungan dengan Polandia melalui pengakuan garis perbatasan di Sungai Oder dan Neiße (walaupun pengakuan itu tidak berlaku penuh secara de jure), dan dapat mengikat perjanjian dengan RDJ yang mengatur hubungan antar-Jerman. Perjanjian Empat-Sekutu mengenai Berlin yang diikat pada tahun 1971, namun sebenarnya hanya menyangkut Berlin Barat dan hubungannya dengan Republik Federal Jerman, juga mustahil terwujud tanpa adanya integrasi kokoh ke Barat dari yang lebih besar di antara kedua negara Jerman itu.

Rangkaian perjanjian Eropa Timur (1970-1973) oleh pemerintahan koalisi SPD-FDP pimpinan Brandt dan Scheel, terutama menanggapi pengukuhan terbelahnya Jerman pada tanggal 13 Agustus 1961 dengan dibangunnya Tembok Berlin. Dengan semakin mundurnya kemungkinan reunifikasi, politik RFJ harus mengutamakan upaya meringankan akibat pembelahan itu demi kebersamaan bangsa. Pemulihan persatuan Jerman tetap menjadi tujuan resmi Republik Federal Jerman. Namun setelah berlakunya perjanjian dengan Eropa Timur itu, harapan akan terbentuknya negara kebangsaan Jerman terus mengecil. Di Jerman Barat, perubahan sikap itu tampak lebih jelas pada generasi muda ketimbang pada angkatan yang lebih tua. Pada tahun 80-an, tatanan pascaperang mulai goyah. Krisis Blok Timur diawali dengan pendirian serikat kerja independen “Solidarnosc” di Polandia pada tahun 1980, yang disusul dengan pemberlakuan keadaan darurat perang akhir tahun 1981. Tiga setengah tahun kemudian, pada bulan Maret 1985, Mikhail Gorbachov meraih tampuk kekuasaan di Uni Sovyet. Pada bulan Januari 1987, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Sovyet yang baru itu mengucapkan kalimat bernada revolusioner, “Kita butuh demokrasi seperti kita butuh hawa untuk bernapas”. Pesan itu mengilhami para pejuang hak warga di Polandia dan Hongaria, di Cekoslovakia dan di RDJ. Pada musim gugur 1989, tekanan akibat aksi-aksi protes di Jerman Timur menjadi begitu kuat, sehingga hanya intervensi militer oleh Uni Sovyet yang dapat menyelamatkan rezim komunis. Namun Gorbachov tidak bersedia melakukannya. Akibatnya, pimpinan partai di Berlin Timur mengalah kepada revolusi secara damai di RDJ: Pada tanggal 9 November 1989 Tembok Berlin pun runtuh – sebuah simbol ketidakbebasan, seperti rumah tahanan Bastille di Paris, yang jatuh dua abad sebelumnya, pada tahun 1789.

1990: Reunifikasi

Setelah terbukanya Tembok Berlin pada tahun 1989 masih dibutuhkan sebelas bulan sampai reunifikasi Jerman terwujud. Penyatuan kembali itu sesuai kemauan rakyat di kedua negara Jerman. Dengan mayoritas besar, para pemilih di Jerman Timur yang turut serta dalam pemilihan bebas pertama (dan terakhir) untuk parlemen pada tanggal 18 Maret 1990 memberikan suara kepada partai-partai yang menuntut penggabungan RDJ kepada Republik Federal selekas mungkin. Sebagai dasar hukumnya, pada pertengahan tahun 1990 dirundingkan perjanjian antara kedua negara Jerman. Sebelumnya telah disepakati uni moneter. Pada waktu yang sama, Republik Federal dan RDJ pun merumuskan Perjanjian Dua-plus-Empat dengan keempat negara sekutu yang bertanggung jawab bagi Berlin dan bagi Jerman sebagai keseluruhan. Perjanjian itu mengatur persyaratan reunifikasi Jerman di bidang-bidang politik luar negeri dan keamanan.

Masalah Jerman terpecahkan pada tahun 1990 sesuai tuntutan lama akan “Persatuan dalam Kebebasan”. Solusi itu hanya dapat dicapai atas persetujuan semua negara tetangga. Hal itu berarti juga, hanya secara bersamaan dengan tercapainya solusi bagi masalah besar lain di abad ke-20, yaitu masalah Polandia. Pengakuan perbatasan barat Polandia sepanjang Sungai Oder dan Sungai Neiße secara final dan mengikat menurut hukum internasional merupakan prasyarat bagi reunifikasi Jerman dalam perbatasan yang berlaku de facto pada tahun 1945.

Menurut pemahamannya sendiri, Jerman yang bersatu kembali itu bukan “demokrasi pascanasional di antara negaranegara kebangsaan” – begitu Republik Federal yang “lama” disebut oleh ahli ilmu politik Karl Dietrich Bracher pada tahun 1976 – melainkan negara kebangsaan demokratis pascaklasik di antara negara-negara sejenis. Negara Jerman itu terikat dengan kuat di dalam gabungan negara Uni Eropa (UE) yang supranasional, dan melaksanakan sebagian kedaulatannya secara bersama dengan negara anggota lainnya. Banyak hal yang membedakan negara kebangsaan Jerman yang kedua dengan yang pertama – yaitu semua hal yang membuat negara pimpinan Bismarck itu menjadi negara militer dan negara otoriter. Di lain pihak ada juga garis keberlanjutan. Jerman Bersatu sebagai negara hukum dan konstitusi, sebagai federasi dan negara sosial melanjutkan tradisi yang berakar jauh ke abad ke-19. Ini berlaku pula untuk hak pilih yang umum dan sama, dan untuk budaya parlemen yang telah berkembang dalam Reichstag di era Kekaisaran Jerman. Kontinuitas juga terjadi dalam hal wilayah: Perjanjian Dua- Plus-Empat, dokumen pendirian Jerman Bersatu menurut hukum internasional, sekali lagi mengukuhkan solusi “Jerman yang kecil”, yaitu Jerman dan Austria sebagai dua negara terpisah.

Masalah Jerman telah dipecahkan sejak tahun 1990, tetapi masalah Eropa belum selesai. Dengan perluasan pada tahun 2004 dan 2007, UE mencakup dua belas negara lagi. Sampai terjadinya pergantian era pada tahun 1989-1991, sepuluh di antara negara itu berhaluan komunis. Semua anggota baru itu dahulu bagian dari kawasan negeri Barat, yang ciri-cirinya ialah tradisi hukum yang pada dasarnya sama, juga pemisahan dini antara kekuasaan lembaga keagamaan dan lembaga duniawi, serta antara kekuasaan raja dan wewenang wakil golongan masyarakat. Namun kebersamaan itu berarti juga pengalaman derita dan maut yang diakibatkan oleh permusuhan atas dasar perbedaan agama atau kebangsaan, serta oleh rasisme. Masih dibutuhkan waktu agar bagian-bagian Eropa yang pernah terpisah itu dapat berkembang bersama. Proses ini hanya akan berhasil, jika pendalaman persatuan Eropa berjalan seiring dengan perluasan UE. Pendalaman tidak cukup dengan reformasi institusional, tetapi memerlukan pemikiran bersama mengenai sejarah Eropa dan mengenai kesimpulan yang harus ditarik dari sejarah itu. Kesimpulan yang paling penting maknanya ialah kesadaran mengenai sifat nilai-nilai Barat yang berlaku umum, terutama hak asasi manusia yang tidak dapat diganggu-gugat. Nilai-nilai tersebut dikembangkan secara bersama oleh Eropa dan Amerika, dan nilai-nilai itu harus dipegang seterusnya dan menjadi tolok ukur yang dipakai dunia luar untuk menilai Eropa dan Amerika.