Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Oktober 2010

SISTEM POLITIK ISLAM

A. Pengertian Politik
Pemikiran politik dalam sejarah dapat dilihat dari perjalanan manusia mulai memikirkan bagaimana mengatur hidup dalam sebuah komunitas. Pemikiran ini pada umumnya orang akan merujuk pada pemikiran-pemikiran yang pernah terjadi pada zaman Yunani Kuno, baik dari masa Socrates (469-399 s.M.), Plato (429-347 s.M.) ataupun Aristoteles (384-322 s.M.). Pada zaman abad pertengahan, pemikiran para pakar tidak lain sebenarnya sebagai pelanjut dari para pemikir Yunani Kuno itu. Hal ini terlihat dari perkembangan pemikiran masalah politik yang lebih bersifat evolusioner. Pada zaman Yunani Kuno, pemikiran politik masih berkutat pada masalah polis atau negara yang belum sampai pada aplikasi yang sesungguhnya. Walaupun Plato pernah berpendapat bahwa negara yang terbaik hendaklah dipimpin oleh seorang filosuf.
Politik sebagai pemikiran yang aplikasinya tidak pernah lepas dengan masalah masalah kenegaraan, kini sebagai ilmu pengetahuan sangat populer di kalangan para birokrat, negarawan, politikus, penguasa (pemimpin), para pengamat dan para ahli hukum.
Kata politik berasal dari bahasa Yunani yakni : Polis yg berarti kota. Dalam arti istilah politik adalah suatu ilmu yang berkaitan dengan prinsip pengaturan dan pengawasan rakyat yang hidup dalam masyarakat. Kemudian poltik ini pada umumnya sangat terkait dengan masalah negara.
Adapun berdirinya sesuatu negara disyaratkan dengan adanya penduduk, wilayah, pemerintahan dan kedaulatan. Tujuan negara didirikan pada umumnya : memelihara dan memaksakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
Fazlur Rahman (1996) menyatakan : tujuan Negara adalah memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua.
Namun seberapa jauh pengertian politik tersebut. Berikut ini disebutkan beberapa definisi mengenai istilah politik, yaitu antara lain :
1. Politik adalah kemahiran untuk menghimpun kekuatan; meningkatkan kualitas dan kuantitas kekuatan; mengawasi dan mengendalikan kekuatan; dan menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan institusi lainnya (Roeslan Abdul Ghani, t.t).
2. H.D. Lasswell, politik adalah ilmu tentang pengaruh dan yang berpengaruh; Adapun yang berpengaruh adalah memperoleh sebanyak-banyaknya apa yang dapat diperoleh, yaitu kehormatan, penghasilan dan keselamatan (F.Isywara, 1967).
3. Politik praktis adalah semua usaha , perbuatan dan tindakan , dengan tujuan untuk mempengaruhi , mengatur atau langsung menetapkan jalannya kejadian-kejadian dalam kehidupan bernegara (Cheppy Hary Cahyono, 1982).
Selain pengertian-pengertian tersebut, politik kadang diartikan dengan sangat sederhana yaitu seperti siasat; mencari strategi yang tepat; kelicikan; kelihaian menerapkan sesuatu; dan sebagainya, baik dalam arti positif maupun negatif. Dengan demikian istilah politik dapat diartikan : siasat, cara maupun strategi untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar mendukung, ikut memperjuangkan, sehingga memperoleh kekuatan yang besar dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkannya yakni kekuasaan dalam segala bidang, termasuk negara.
Strategi perjuangan memperoleh kekuatan yang besar sehingga dapat meraih kekuasaan ini, perwujudannya seringkali didasarkan pada ideologi-ideologi dan doktrin-doktrin tertentu. Oleh karena itu mekanisme perjalanannya tidak bisa lepas dari apa yang melandasinya. Seberapa jauh strategi itu akan digulirkan, tergantung pada tinggi rendahnya doktrin ideologi yang bersangkutan dan kondisi lokal yang dihadapi.
Bagaimana dengan pengertian Politik Islam ?
Jika politik secara umum memiliki pengertian siasat, cara maupun strategi untuk mempengaruhi agar mendukung dan ikut memperjuangkan, sehingga memperoleh kekuatan yang besar dalam rangka mencapai tujuan, maka dalam politik Islam hanya ditandaskan dengan nuansa atau dibingkai dengan aturan, hukum, dan atau nilai-nilai Islam. Politik Islam secara teoritik adalah seperangkat aturan yang didasarkan pada Al-Qur’an, As-Sunnah maupun perjalanan Islam historis yang bertujuan untuk mencapai kekuasaan dalam segala bidang, terutama hal-hal yang berkaitan dengan kepemerintahan atau negara.

B. Hubungan Islam dengan Politik
Bagaimana sebenarnya hubungan Islam dengan politik? Islam sebagai agama samawi yang berasal dari Allah SWT. apakah mempunyai hubungan dengan politik sebagi ideologi yang merupakan ciptaaan manusia. Apakah tidak merupakan penghinaan terhadap agama, bila kita membandingkan antara agama dengan politik? Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, Din Syamsuddin (1993) memberikan gambaran yang dapat dijadikan pedoman, yaitu ketika membahas mengenai hubungan Islam dengan negara.
Pertama, teori integralistik. Teori menyatakan bahwa agama dan negara (politik) tidak dapat dipisahkan , keduanya merupakan satu kesatuan, karena wilayah agama meliputi wilayah negara atau politik. Oleh karena itu negara pada dasarnya merupakan lembaga politik dan agama sekaligus. Eksistensi penyelenggaraan negara adalah didsarkan pada kedaulatan Ilahi. Pemikir model kategori ini adalah seperti Abul ‘Ala al-Maududi.
Kedua, agama dan negara (politik) mempunyai hubungan simbiotik-mutualis yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam model pemikiran ini bisa jadi agama ditempatkan sebagai alat justifikasi peneyelenggaraan politik, atau sebaliknya bahwa penerapan kebijakan-kebijakan politik adalah menguatkan pada perintah-perintah agama. Gagasan ini yang ditawarkan oleh Al Mawardi.
Ketiga, agama dan negara (politik) sama sekali tidak mempunyai hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik. Pemikiran ini lebih bersifat sekularistik yakni memisahkan antara agama dan negara. Wilayah kajian agama mempunyai lingkungan sendiri dan kajian politik juga demikian. Dengan demikian mereka menolak suatu konsep yang menjadikan agama sebagai dasar negara. Pemikir yang mendukung model ini adalah Ali Abd Raziq.
Ketiga kecenderungan pemikiran tersebut sampai kini masih bergulir di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan dalam sejarahnya bukan saja terbatas pada pemikiran, tetapi sudah diaplikasikan dalam penyelenggaraan negara. Seperti Arab Saudi lebih memilih pada kategori pemikiran pertama yaitu menempatkan agama sebagai basic atau dasar dari penyelenggaraan pemerintahannya. Sedangkan Pakistan lebih memilih pada kategori kedua, yakni agama ditempatkan sebagai penguat dari pelaksanaan kebijakan pemerintahan atau sebaliknya. Kemudian Turki lebih memilih pada kategori ketiga, yaitu agama tidak mempunyai hubungan apapun dengan penyelenggaraan negara, sehingga mereka menempatkan agama sebagai urusan individual dan personal.
Perbedaan penerapan ideologi politik yang ada di negara-negara Muslim itu lebih disebabkan bahwa doktrin nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak secara tegas menekankan teori mana yang harus diikuti, dan kemudian ditambah dengan kenyataan yang terjadi pada negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu dalam persoalan politik, tidak hanya melihat doktrin-doktrin nash, tetapi juga melihat bagaimana Islam historis yang lebih mendekatkan pada kenyataan gejala sosial itu muncul ke permukaan.
Dalam nash, banyak dinyatakan mengenai musyawarah, kebebasan beragama, menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran, dilarang berbuat hipokrit, tolong menolong dalam kebaikan, yang semuanya menunjukkan tentang demokrasi. Islam adalah sebagai petunjuk moral dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang politik. Oleh karena itu dalam pengertian universal, Islam telah memberi acuan secara keseluruhan, sehingga ia bersifat holistik dan komprehensip. Dalam kaitan dengan masalah politik ini, Amien Rais (1993), menyatakan bahwa sekularisme itu tidak memperoleh tempat dalam agama Islam. Hal ini disebabkan bahwa Islam itu sebagai petunjuk moral yang mencakup segala aspek kehidupan. Kemudian apabila melihat suatu rezim yang ada di di dunia Islam, umpama Arab Saudi, menjalankan roda pemerintahannya tidak demokratis, itu bukan berarti Islam tidak demokratis, melainkan yang terjadi pada negara tersebut adalah cermin Islam sebagai realitas sosial dan bukan Islam sebagai doktrin.

C. Politik Islam dalam Masa Rasul Muhammad SAW.
Melihat realitas negara secara singkat dan tujuannya, maka jika dikaitkan dengan masa Rasul Muhammad, perlu dibagi menjadi dua yakni pada masa hidup di Makkah (610-622 M) dan masa di Madinah (622 – 632 M). Periode kedua sebenarnya sebagai periode kelanjutan dari periode pertama. Perbedaannya, pada masa di Makkah Nabi tidak punya kekuasaan politik untuk menyokong kenabiannya, sedang ketika di Madinah ia sebagai kepala “politik” agamanya, meskipun ia tidak pernah menyatakan dirinya sbagai seorang penguasa atau sebagai kepala pemerintahan. Bahkan al-Qur’an menyatakan beliau hanyalah seorang rasul (Q.S. 3:144)., lihat pula 3 : 164. Kemudian sebagai analogi bagaimana dengan nabi Daud yang menjadi raja (Q.S. 2:251).
Negara dalam Islam adalah sebagai alat untuk keperluan agama. Perlunya sebuah negara memang tidak secara tegas disampaikan al-Quran. Bahkan kata negara (daulat) menurut -hampir semua pakar politik Islam menyatakan tidak terdapat dalam al-Qur’an. Sehingga wajar jika Qur’an juga tidak secara detail memberikan sesuatu pola teori kenegaraan . Sebab pada prinsipnya Qur’an memang bukan sesuatu kitab ilmu politik dan kedua, karena suatu institusi sosio-politik dan organisasi manusia selalu berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu tujuan terpenting al-Qur’an adalah agar nilai-nilai dan perintah-perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosio-politik umat manusia. Nilai-nilai ini terkkait dengan prinsip keadilan, persamaan dan kemerdekaan yang juga menempati posisi sentral dalam ajaran Islam.
Muhammad dengan Qur’an sebagai pedoman perjalanan etiknya sangat memperhatikan masalah keadilan. Bahkan memelihara dan melaksanakan keadilan di muka bumi merupakan prasyarat bagi kebahagiaan manusia. Seperti dikatakan Syaltout : keadilan merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem yang berorientasi kepada Tuhan. Menurut Khalifah Abdul Hakim, nabi adalah raja-filusuf yang diimpikan Plato; Ia adalah seorang manusia dengan cita-cita keadilan yang tinggi, pada waktu yang sama memiliki karakter dan kekuasaan untuk menterjemahkannya ke dalam praktek dan melihat hasilnya dengan mata kepala sendiri semasa hidupnya.
Ujud cita-cita ini tidak berlangsung lama, sebab perjalanan sejarah politik Islam tidak senantisa berjalan di atas prinsip-prinsip keadilan dan moralitas yang dicita-citakan al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak menegaskan bentuk sesuatu negara, maka model dan struktur ketatatnegaraan Islam bukan sesuatu yang tidak dapat dirubah; ia senantiasa terikat oleh perubahan, modifikasi dan perbaikan sesuai dengan kebutuhan umat.
Karena konsep syura sebagai gagasan politik yang utama dalam al-Qur’an, maka sistem poltik demokrasi nampaknya lebih dekat dengan cita-cita qur’an, sekalipun tidak identik dengan demokrasi ala Barat. Sistem pemerintahan nabi bercorak sangat unik. Ia tidak pernah akan dapat diulang, karena menurut qur’an, Allah sendirilah yang memilih dan mengangkatnya sebagai Rasul dan sebagai manifestasi rahmat Allah untuk umat manusia secara keseluruhan. FirmanNya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ .
Artinya: “Tidaklah kami mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat bgi seluruh alam (Q.S 21:107).

Pada masa Nabi, pemerintahan yang berjalan masih sangat sederhana. Kedudukan nabi sangat spesial. Muhammad bertindak sebagai rasul, kepala negara dan sekaligus juga sebagai hakim. Muhammad memegang otorits ukhrawi dan sekaligus otoritas duniawi (sebagai kepala negara dan hakim). Kedudukan yang unik ini tidak akan terulang lagi pada siapapun, karena pintu kerasulan sudah tertutup.
Dalam perjalanannya, setiap mengambil keputusan kadang rasul bermusywarah (realisasi dari syura), tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan rasul. Beliau kadang berkonsultasi, tetapi adakalanya dituntun langsung oleh wahyu. Rasul tidak menjelaskan secara lengkap dan detail mengenai mekanisme dan sistem pemerintahan. Beliau juga tidak secara tegas merombak total sistem kekuasaan suku-suku Arab yang telah mentradisi. Rasul merombak pada sisi kepercayaan mereka, bahkan yang penting mereka mau menerima Islam sebagai jalan hidupnya. Apabila sebelum mereka masuk Islam yang mengikat mereka adalah ikatan kesukuan, tetapi setelah merekak menganut Islam maka yang mengikat adalah ikatan keagamaan.

PIAGAM MADINAH
Piagam ini lahir pada tahun pertama Hijriyah yaitu th 622 M. Menjelang hijrah yakni pada tahun ke-10 dari kenabian Abu Thalib dan Khadijah wafat. Peristiwa ini mengakibatkan oposisi pihak Quraisy semakin gencar. Opsisi ini kuat sebenarnya bukan disebabkan oleh doktrin tauhid yang kuat itu, tetapi efek dari doktrin tersebut, yaitu perdagangan mereka (Quraisy) yang makmur itu ternyata didasarkan pada eksploitasi si kuat atas masyarakat yang lemah. Sebab dalam benak kaum Quraisy tidak dikenal “keprihatinan sosial”. Implikasi doktrin tauhid inilah yang sangat ditakuti oleh mereka.
Dengan opsisi yang demikian kuat itulah nabi kemudian harus meninggalkan kota kelahirannya. Didahului dengang ba’iatul ‘aqabah , maka beliau hijrah menuju Madinah dan sampai di kota ini tgl 12 Rabiul Awal 1 H. / 24 September 622 M.
Madinah adalah berbeda dengan Makkah. Jika Makah lebih homogin, tetapi Madinah lebih heterogin. Ada suku Hazraj, Aus, Banu Sa’idah, Banu Harith, Banu Jusyam, Banu Najar, Banu Nabit, Banu Amr bin ‘Auf, dan sub suku-suku yang lain. Karena interaksi sosial mereka sangat kompleks, maka penanganan terhadap mereka harus lebih bijak.
Munculnya Piagam Madinah berangkat dari keberadaan masyarakat Madinah yang tumbuh adat istiadatnya, sehingga dokumen yang muncul pada abad ke-7 M. memberikan ide-ide revolusioner yang sangat menakjubkan. Dikatakan revolusioner karena penduduk Madinah dengang pendatang (muhajirin) dari Makkah dikategorikan sebaga umat yang satu (ummatan wahidah). Gagasan satu umat di tengah sistem kesukuan adalah sebagai terobosan yang spektakuler. Bahkan substansi dari Piagam ini menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan telah batal demi hukum. Kehebatan piagam ini bukan saja pada zamannya, tetapi pada saat inipun piagam ini masih tetap relevan nilai-nilainya. Sebab piagam tersebut mempunyai tujuan strategis bagi terciptanya sesuatu keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya.
Berdasarkan Piagam Madinah itu, semua suku, qabilah dan kelompok manapun menjadi peserta piagam. Mereka mempunyai kebebasan iman, sosial budaya, tetapi dengan kewajiban bersama-sama menjaga dan mempertahankan kota Madinah dari serangan pihak luar dan biaya pertahanan dipikul secara bersama-sama. Tapi jika terjadi konflik di antara mereka, maka harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul Muhammad. Butir inilah menunjukkan bahwa nabi sudah mulai diakui sebagai pemimpin yang punya kekuasaan politik, sekalipun pada masa itu beliau adalah pemimpin kaum muhajirin dan anshar.
Namun sayang pada suatu saat, akhirnya pihak Yahudi menghianati Piagam tersebut, di mana ketika Madinah (Muslimin) diserang penduduk Makkah (Quraisy) ternyata mereka justru membantu pihak Makkah.
Piagam Madinah terdapat 47 pasal, dan bila dirangkum terdapat dua hal pokok yakni :
1. Semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari berbagai suku adalah tetap merupakan satu komunitas.
2. Hubungan antara sesama komunitas Islam dan antara semua anggota komunitas didasarkan pd prinsip-prinsip :
a. bertetangga yang baik;
b. saling membantu dalam menghadapi musuh bersama;
c. membela mereka yang teraniaya;
d. saling menasihati; dan
e. menghormati kebebasan beragama.

D. Politik di Masa Khulafa al Rasyidin
Wafatnya Nabi Muhammad SAW tertanggal 12 Rabiul Awwal, 11 H. /8 Juni 623 M, meninggalkan situasi politik yang sangat unik dalam sejarah politik Islam. Sebab nabi semasa hidupnya tidak saja punya otoritas duniawi (politik,dsb) tetapi juga punya otoritas ukhrawi (spiritual). Situasi ini tidak akan terulang kembali, karena Muhammad sabagi rasul terakhir.
Pada waktu beliau masih hidup, beliau tidak pernah berwasiat tentang siapa yang akan menggantikan dirinya sebagai pemimpin umat. Al Qur’an atau al Hadits tidak memberikan petunjuk yang detail mengenai tata cara menentukan mekanisme pemilihan pemimpin umat. Hanya petunjuk yang sifatnya umum, yaitu agar dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama adalah dengan musyawarah, tanpa adanya pola yang baku bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan.
Ketika umat baru saja ditinggal pemimpinnya, keesokan harinya, tanpa direncanakan sebelumnya, diadakan pertemuan di Saqifah, Madinah yakni di balai pertemuan Sa’idah. Karena sifatnya mendadak, maka banyak sahabat senior yang tidak hadir, seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdul Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash dan Thalhah bin Ubaidah. Dalam pertemuan tersebut golongan Anshar (golongan Khazraj) menjagokan Sa’ad bin Ubaidah sebagai pengganti Rasul. Mereka beralasan :
1. Kaum Ansharlah yang menolong Rasul di waktu susah;
2. Madinah adalah sebagai pusat pemerintahan Kaum Muhajirin menolak pencalonan itu, dengan alasan :
a. Yang berhak adalah kaum Muhajirin, sebab mereka yang pertama kali merasakan pahit getirnya perjuangan Islam;
b. Sebelum Islam, suku Khazroj dengan suku Aus selalu berperang, sehingga jika nanti pemimpin dari suku Khazraj, maka suku Aus akan marah.
Hal ini pernyataan dari Abu Bakar : Jika kaum Anshor berkuasa dikhawatirkan terjadi konflik, karena antar suku masih memiliki nuansa permusuhan. Apalagi beberapa daerah juga merasa telah lepas dari ikatan Piagam Madinah. Abubakar kemudian mengusulkan, mencalonkan Umar bin Khatab & Abu Ubaidah bin Jarah , tetapi kedua orang ini menolak, bahkan terus membai’at Abubakar. Sebelum berdua berbai’at, ternyata sebelumnya tokoh Khazraj, Basyir bin Said, telah membai’atnya. Bai’at ini didengar oleh seluruh peserta rapat. Dalam sejarah peristiwa ini dikenal dengan “Bai’at Saqifah”. Abubakar terpilih disebut : khalifah rasulillah, bukan khalifatullah. Sistem ini berarti menolak sistem monarki, warisan dinasti ataupun kerajaan.
Khalifah sendiri punya arti :
a. Pengganti (Successor) Muhammad sebagai kepala negara, bukan sebagai rasulullah;
b. “pembantu” atas rakyatnya. Hal ini sesuai dengan pidato para khulafa al rasyidin, yang pada intinya : sebagai kontrak sosial, bahwa pemimpin akan bekerja untuk yang dipimpin.
Munculnya peristiwa ini (pengangkatan Abubakar sebagai khalifah rasulillah) ada beberapa hal yang dapat dipetik :
1. Kepemimpinan adalah sangat penting dalam Islam;
2. Rasa takut munculnya konflik dengan wafatnya Rasul;
3. Pengangkatan seorg pemimpin : musyawarah


1. Abubakar (632 - 634 M./ 11-13 H.)
Pengangkatan Abubakar sbg khalifah, menyimpan masalah yakni :
1. pertemuan saqifah terlalu terburu-buru (karena memang tidak direncanakan terlebih dahulu);
2. tidak mengikutsertakan sahabat senior, seperti Abdur Rahman bin Auf, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqash, dsb.
3. tidak memohon ijin/mengikutsertakan keluarga nabi, sebab ketika pertemuan berlangsung, nabi sendiri belum dikebumikan.
4. Antara Anshar & Muhajirin tidak mempunyai koordinasi yang baik. Karena Pertemuan Saqifah yang melakukan pada awalnya : Anshar yang ingin mengangkat Saad bin Ubadah.
Ali bin Abi Thalib sendiri baru berbai’at setelah istrinya (Fatimah) tutup usia. Nama lengkap Abubakar : Abdullah bin Abi Quhafah at Tamimi, yang dijuluki Abubakar : pelopor pagi hari. Ia diberi gelar : As Shidiq (yang dipercaya). Gelar ini karena ia sangat mempercayai kebenaran Islam dan peristiwa Isra’ mi’raj. Ia sebagai pedagang. Putrinya yang bernama Aisyah, diperistri Rasul. Ketika Rasul menderita sakit, Abubakar sering menggantikan nabi memimpin shalat jama’ah.
Kepemimpinan Abubakar berusaha meneladani Rasulullah SAW. Ia banyak memerangi kaum riddah dan kaum yang ingin melepaskan diri dari pangkuan Islam. Setelah kurang lebih 3 tahun berkuasa, beliau jatuh sakit. Sebelum wafat ia sempat mengumpulkan para sahabat untuk membicarakan siap orang yang paling tepat menggantikan dirinya ? Maka diajaklah konsultasi yaitu : al. Usman bin Affan, Abdul Rohman bin Auf (Muhajirin) dan Asid bin Khudair (Anshar). Pembicaraan ini dirahasiakan, karena untk kemashlahatan umat. Sesudah Abubakar wafat, maka diangkatlah Umar sebagai khalifah.

2. Umar bin khatab (634 – 644 M / 13 –23 H.)
Pengangkatan Umar berbeda dengan pendahulunya, yakni bukan dengan musyawarah terbuka. Hal disebabkan Abubakar khawatir bisa terjadi sesuatu (mungkin konflik umat Islam) seperti pertemuan di balai saqifah. Sebab pemilihan akan seru, dan hal ini bagi Islam yang masih muda tidak memberi manfaat. Pada sisi lain adanya tindak pengkhianatan dari suku-suku yang belum berimandan juga ancaman dari imperium Romawi dan Persia.
Umar dikenal sebagai orang yang sangat keras. Ia dikenal sebagai “singa padang pasir”. Oleh karena itu penunjukannya sebagai khalifah pada awalnya “ditentang” Abdurrahman. Tetapi berkat motivasi Abubakar, mereka semua akhirnya menyetujui.
Pada masa pemerintahannya (selama 10 tahun), ia berhasil membebaskan negeri jajajahan Romawi dan Persia, seperti: Palestina, Suriah, Mesir dan Baitul Maqdis dari Romawi. Masa Umar ini mulai diadakan aturan tentang hubungan Antara daerah dengan pusat.
Ketika Umar ditikam seorang nashrani, Abu Lu’lu’ah, pada waktu shalat shubuh, ia dengan nafas tersengal-sengal bertanya : siapakan yang menikamku ? Dijawab para shahabat : “Abu Lu’lu’ah”. Alhamdulillah, kata Umar, Aku tidak dianiaya oleh sesama Muslim.
Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, Umar diminta untuk menunjuk seorang penggantinya, tetapi Umar menolaknya. Bahkan ketika shahabt menunjuk putranya, Abdullah bin Umar, Umar malah marah. Namun ketika didesak para shahabat, maka Umar membentuk formateur yang terdiri dari 6 orang yaitu :
a. Ali bin Abi Thalib;
b. Utsman bin Affan;
c. Saad bin Abi Waqash;
d. Abdul Rohman bin Auf;
e. Zubair bin Awwam; dan
f. Thalhah bin Ubaidillah.
g. Abdullah bin Umar (sebagai peninjau) tidak punya hak suara.

Menurut Umar mekanisme pemilihan khalifah :
1. Formateur sudah harus memilih khalifah 3 hari setelah Umar wafat;
2. Penentuan khalifah harus dengan musyawarah, & berbahagialah bila mereka menyepakati 1 nama;
3. Jika 4-5 orang menyepakati 1 nama, sedangkan 1-2 orang menolak, maka semua hendaknya berusaha menyadarkannya;
4. Jika suara berimbang, maka hendaklah bertanya pada Abdullah bin Umar, dan siapapun yang didukung Abdullah dialah yang menjadi khalifah;
5. Jika mereka tidak mengikutsertakan Abdullah bin Umar, maka calon yang didukung kelompok Abdul Rahman bin Auf-lah yang harus diterima, dan jika ada yang menentangnya, hendaknya dia dibunuh.
Setelah Umar wafat, 5 anggota formateur bersidang, sedang Thalhah pergi ke Madinah. Pemilihan ini berjalan alot, karena semua mencalonkan diri sebagai khalifah. Abdul Rohman mengundurkan diri, sehigga tinggal 4 calon. Masyarakat terbagi menjadi dua, satu pihak mendukung Utsman, sedang pihak lain mendukung Ali.
Pada saat Abdul Rohman bertanya kepada Ali tentang kesanggupannya menjadi khalifah, ia menjawab : saya berharap dapat berbuat sejauh pengetahuan dan kemampuan saya”. Namun ketika ditanyakan kepada Utsman, ia menjawab : ya, saya sanggup. Maka berdasarkan jawaban itu Utsman dipilih menjadi khalifah. Ali kecewa dan menuduh Abdul Rohman telah bersekongkol sebelumnya.

3. Utsman bin Affan (644- 656 M/23 – 35 H.)
Proses pemilihan Utsman yang tidak mulus membawa persoalan-persoalan berikutnya, yakni munculnya kelompok pembangkang (seperti Mesir).
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Utsman terlihat lemah, hal ini disebabkan :
1. Praktek nepotisme. Gubernur Amr bin Ash di Mesir diganti Ibn Abi Sarh (keluarga Utsman). Kejadian ini mengakibatkan sekitar 500 orang Mesir menyerbu pusat.
2. Utsman sudah mencapai 70 th.,
3. Utsman sering mendelegasikan tugas-tugasnya kepada org lain.
Utsman wafat sangat menyedihkan, sebab sebelumnya rumah beliau dikepung dan beberapa saat kemudian, penyerbu dapat masuk ke rumah Utsman dan membunuhnya.

4. Ali Bin Abi Thalib (657-661 M)
Utsman wafat tidak meninggalkan wasiat kepemimpinan pada siapapun. Naiknya Ali sebagai khalifah, segera muncul penolakan dari pemuka-pemuka yang ingin jadi khalifah, terutama Thalhah & Zubair yang dapat sokongan dari Aisyah.
Setelah Utsman wafat, segera para pemberontak yang dipimpin Abdullah bin Saba mendatangi untuk membai’atnya. Namun ia menolaknya. Kemudian datang beberapa kelompok Muhajirin dan Anshar utk membai’atnya secara terbuka. Bai’at ini kemudian diikuti oleh org yang hadlir. Namun ada yang menolaknya, antara lain : Muawiyah (Gub. Suriah), Amr bin Ash (Gub. Mesir) dan Aisyah. Disamping itu ada kelompok yang netral (tidak mau mengikuti konflik antara bani Hasyim dengan Umayah) yaitu : Sa’ad bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Utsman bin Zaid, Nu’man bin Basyir, Abu Sa’ad al-Khudri, dan sebagainya.
Pemerintahan Ali dibayang-bayangi konflik. Hal ini disebabkan :
1. Ali harus bertanggung jawa atas terbunuhnya Utsman;
2. Hak memilih khalifah bukan lagi monopoli orang-orang di Madinah, mengingat semakin luasnya kekuasaan politik Islam;
3. Kepemimpinan Ali ditentang golongan Khawarij, dan pengikut Thalhah serta Zubair.
Konflik terbuka yang besar adalah perang Jamal, di mana pihak musuh dipimpin Thalhah, Zubair dan Aisyah. Perang kedua adalah perang Shiffin yang dipimpin Mu’awiyah. Ketika terjadi gencetan senjata, Mu’awiyah kembali ke Suriah dan kemudian menguasai Irak. Bahkan pada bulan Mei 660 M, bertempat di Yerusalem, ia menyatakan diri sebagai khalifah. Sebelum memadamkan pemebelotan ini, Ali terbunuh pd tgl 24 Januari 661 M. Peristiwa ini menandai berakhirnya era khulafa al rasyidin.

Schism pasca khulafaur Rasyidin
Pergantian para khalifah, meskipun melalui musyawarah, tetapi nuansa konflik cukup tinggi. Sebab musyawarah itu tidak mulus, penuh menyimpan bom waktu. Apalagi ketika pengangkatan Ali sebagai khalifah.
Pembai’atan Ali tidak seperti khalifah-khalifah terdahulu. Tidak semua shahabat membai’atnya. Zubair, Thalhah dan Aisyah menolaknya. Mu’awiyah juga menentang nya, akhirnya terjadi pertempuran, yaitu perang Jamal dan perang Shifin.
Dalam perang Jamal, Zubair dan Thalhah terbunuh, sedang ‘Aisyah ditangkap, kemudian dikembalikan ke keluarganya. Adapun pada perang Shifin, diadakan gencetan senjata dengan mengambil jalan arbitrase (hakam). Pihak Mu’awiyah diwakili Amr bin Ash, sedang pihak Ali diwakili Abu Musa Al Asy’ari. Pada kesepakatan mereka berdua, kelicikan Amr mengalahkan perasaan taqwa Abu Musa. Sebenarnya keduanya sepakat untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah, namun ketika Abu Musa sebagai yang tertua maju duluan dan kemudian mengumumkan putusan telah menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu, Amr justru dalam memberikan pengumumannya hanya sepakat menjatuhkan Ali dan kemudian mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah.
Dari hakam tersebut, maka muncul istilah kafir bagi yang menyepakati, karena hakam tersebut dinilai penuh penipuan. Peristiwa ini memunculkan 3 golongan :
1. Golongan Khawarij;
2. Golongan Syi’ah;
3. Golongan Mu’awiyah.
Dalam sistem pemerintahan, khawarij tidak mengakui para imam berasal dari suku Quraisy, tetapi bebas dari suku manapaun asal punya kemampuan. Pihak Syi’ah harus dari keturunan ahlul bait (keturunan nabi atau Ali). Sedang Mu’awiyah membentuk dinasty Bani Umayah & membawa sistem kerajaan dalam Islam.
Sistem kekhalifahan setelah nabi wafat tidak punya bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat ke sistem republik, dalam arti kepala negara dipilih bukan didasarkan sifat keturunan. Sebagaimana Abubakar tidak punya hubungan darah dengan Umar, dan Umar juga tidak punya hubungan darah dengan Utsman, dan Utsman juga tidak punya hubungan darah dengang Ali. Mereka hanya punya hubungan shahabat.

3. Sekilas Perjalanan Politik Islam di Indonesia
Suatu kajian politik Islam akan menjadi kurang sempurna (valid) apabila kita meninggalkan kajian politik Islam yang lebih didekatkan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi pertiwi. Hal ini mengingat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan sebagai negara terbesar di dunia yang penduduknya beragama Islam. Namun demikian cermin politik di Indonesia bukan sebagai cermin dari dunia Islam, tetapi merupakan salah satu gambaran dari sederetan negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam. Walaupun untuk melihat keberadaan perjalanan politik umat Islam di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dengan kondisi politik dunia Islam itu sendiri.
Ketika kota Baghdad sebagai pusat peradaban Islam pada tahun 1258 M dihancurkan oleh Hulagu Khan sebagai penguasa Mongol, menunjukkan tentang kelemahan di bidang pertahanan dan politik. Kekalahan ini mengimbas pada seluruh sektor kehidupan. Umat Islam di dunia tenggelam berabad-abad, hampir 8 (delapan) abad. Suatu waktu yang sangat lama. Dalam keadaan lemah ini seluruh dunia Islam (negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam) dijajah koloni Barat (Kristen), kecuali Iran, Turki dan Saudi Arabia.
Umat Islam menderita demikian parah, baik fisik maupun mental spiritual. Secara fisik mungkin banyak negara terjajah kini sudah merdeka, namun secara moral sebenarnya masih tetap tercengkeram di bawah kaki kekuasaan mereka. Independensi yang dimiliki berada di bawah bayang-bayang ketiak negara adi kuasa.
Upaya mengembalikan keberadaan Islam (dan umatnya) seperti pada waktu kejayaan Islam di masa Rasulullah atau pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya ketika kekhalifahan dipegang Al Mansur atau Harun Al Rasyid, sampai sekarang belum berhasil. Beberapa gerakan politik yang dipelopori oleh para tokoh cendekiawan, baik dari India, Mesir, Turki, Iran, Aljazair, dan atau Indonesia senantiasa kandas di tengah jalan. Apalagi gerakan politik yang diperjuangkan adalah baru dalam taraf idea, belum merupakan aksi yang terencana secara signifikan.
Menurut Herbert Feith ada lima aliran yang mewarnai pemikiran politik di Indonesia, yaitu : Tradisi Jawa; Islam; Nasionalisme Radikal; Komunisme dan Sosial-Demokrasi. Ketika mereka ingin menampilkan aliran-aliran tersebut, kata Feith, ada tiga kecenderungan yang nampak, yaitu : Pertama; dalam mendekati permasalahan yang ada sering didekati secara moral-idealis, sehingga lupa memperhatikan realita politik yang berlaku. Oleh karena itu pemikiran yang lahir bukan saja tampak utopis (tidak realistis), tetapi juga tidak bersinggungan dengan apa yang sebenarnya berlaku pada masyarakat, sebagaimana tercermin dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kedua; Indonesia sering dilihat sebagai kesatuan yang utuh, sehingga sering melupakan ciri-ciri pluralisme yang masih melekat dalam dirinya. Hal ini mengakibatkan pemikiran politik jauh dari realita yang sesungguhnya. Ketiga; Sikap optimisme yang berlebihan. Sikap ini juga dapat mengakibatkan kecenderungan meremehkan persoalan-persoalan yang sebenarnya mendesak untuk dipecahkan, seperti kesenjangan, ketidakmampuan masyarakat memahami tujuan partai, dsb (Alfian,1986).
Mungkinkah akibat dari pemikiran yang “moralis-utopis-optimistis” itu menyebabkan seringnya masyarakat Indonesia menemui kesulitan di dalam memecahkan persoalan-persoalan politik yang muncul, seperti proses pergantian kekuasaan yang dilakukan tidak pernah secara damai ?
Apabila proses suksesi kepemimpinan itu didasarkan pada aturan dan permainan yang rasional, barangkali tidak akan menjadi masalah. Insya Allah umat Islam akan melihat dan menilai seberapa jauh program dan tindak tanduk perjalanan sebuah gerakan misalnya, baik melalui partai politik, kultural, maupun strutural-birokrasi untuk mencapai tujuan yang diperjuangkannya. Jika dalam perjuangan gerakan politik, umat disodorkan dengan rencana-rencana yang jelas, insya Allah dengan kesadaran hati dan pemahaman rasional, umat (mungkin) akan mendukungnya.
Perjuangan politik Islam dalam sejarah di Indonesia terus menerus menemui kesulitan, bukan saja karena tesa Feith di atas, tetapi doktrin ideologi Islam yang dapat dimaknai secara plural. Setiap penganut atau tokohnya mempunyai hak untuk menginterpretasikan dari sekian banyak teks-teks atau nash agama (al-Qur’an, al Hadits dan fatwa dari para imam). Mereka sering mengklaim bahwa interpretasinya itulah yang paling benar. Oleh karena itu perjuangan-perjuangan yang dilakukan, khususnya yang berkaitan dengan gerakan politik tidak pernah berhasil. Bahkan terkadang umat Islam juga dibingungkan oleh gerakan-gerakan yang muncul, yang semuanya mengaku sebagai gerakan yang menjunjung tinggi al-Islam. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam belum mempunyai persepsi yang sama terhadap masalah politik, baik secara teoritis maupun dalam arti praktis. Pada sisi lain juga menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia masih sangat rendah (mungkin buta) tingkat pemahaman politiknya. Oleh karena itu mudah diombang-ambingkan oleh keadaan.
Kondisi demikian mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang sebenarnya ingin menghancurkan keberadaan umat Islam, baik secara kultural maupun politis. Sebagaimana pada masa kampanye PEMILU, maka dalam rangka mencari dukungan, para juru kampanye (jurkam) seringkali diambilkan dari orang-orang yang bisa ndalil (membaca qur’an). Mereka sering menyitir ayat-ayat al-Qur’an dalam rangka untuk menegaskan apa yang diungkapkannya. Sehingga umat akan merasa mantap dan akhirnya akan mendukungnya. Demikian pula dari partai lain juga akan mencari ayat-ayat yang dapat mendukung argumentasinya, entah dalam kiprah partainya kadang bertolak belakang dari ajaran Islam, bahkan mungkin anti Islam. Karena dalam kampanye yang paling utama dan pertama adalah bagaimana mencari massa, mencari dukungan, mencari simpatisan sebanyak-banyaknya agar mendukung partai yang dikendarainya.
Ayat al-Qur’an dijadikan alat legitimasi untuk membenarkan apa yang dikampanyekannya. Apabila partai-partai di Indonesia, khususnya partai yang berbasis akar budaya Islam, atau mungkin langsung berasaskan Islam, dan ternyata partai semacam ini cukup banyak, maka dapat diprediksikan bahwa masa kampanye, kita banyak disodorkan dengan perang ayat antara parpol yang satu dengan parpol lainnya. Masing-masing parpol mempunyai ayat-ayat tersendiri yang mendukung dari program-programnya atau platformnya.
Barangkali contoh berikut dapat menjadi gambaran :
1. Pada masa ORLA, di mana dalam PEMILU yang terselenggara pada tanggal 29 September 1955, ada suatu partai yang bernama PKI. Meskipun para pengurus dan anggotanya kebanyakan anti agama atau anti Islam, tetapi dalam kampanyepun mereka juga menggunakan ayat-ayat suci al-Qur’an.
2. Pada masa ORBA, ada suatu partai yang kalau kampanye sering membukanya dengan bacaan basmalah dan ayat-ayat suci al-Qur’an. Walaupun para wakilnya ketika berada di DPR tidak pernah menyuarakan aspirasi umat Islam (karena non Muslim), bahkan justru sering mengganjal terhadap kebijakan-kebijakan yang muncul yang sesuai dengan ajaran Islam.
3. Pada tahun 1999, ketika musim reformasi memunculkan banyaknya partai berdiri, dari partai yang berbasis non-Islam sampai pada partai-partai yang berasaskan Islam. Umat Islam tetap menjadi sasaran tembak yang paling empuk dan mempesona.
Bidikan terhadap umat Islam yang selalu terjadi pada setiap kampanye PEMILU adalah disebabkan bahwa umat Islam itu sering cepat melupakan sejarah dan cepat mema’afkan dosa-dosa sosial dan dosa-dosa politik. Umat Islam juga mudah menerima persoalan dan mudah melupakannya. Oleh karena itu, mari kita ingat sejarah, ingat sejarah. Sebab sejarah adalah sebagai barometer kita, sebagai alat untuk mengaca fenomena yang muncul di kemudian hari. Sejarah sebagai ibrah / pelajaran yang harus dipetik, agar kekeliruan yang terjadi di masa lampau tidak terulang lagi di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 1986, Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia, Gramedia, Jakarta

Ayubi, Nazih N., 1991, Political Islam, Religion and Politic in The Arab World, Rotledge, London and New York.

Aziz, Abdul, dkk., 1994, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Pustaka, Jakarta.

Departemen Agama RI., 1983/1984, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Departemen Agama Pusat, Jakarta.

Departemen Agama RI, 1999-2000, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Diejen Penbinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta

Madjid, Nurcholis, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.

Shihab, Quraisy, 1992, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar